Hak Imunitas Advokat, Mutlak atau Tidak?
Penulis: Gaol Lando Marpaung
Berdasarkan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945) menegaskan secara jelas bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Adapun konsekuensi dari ketentuan pasal ini adalah penguasa maupun rakyat atau bahkan negara sendiri harus tunduk kepada hukum. Semua sikap, tingkah laku, dan perbuatannya harus sesuai atau menurut hukum.[1] Advokat yang merupakan salah satu profesi yang dapat ditekuni oleh warga negara Indonesia juga tentu harus tunduk kepada hukum. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (selanjutnya disebut UU Advokat) berbunyi:
“Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang ini.”
Di sisi lain, Advokat memiliki hak istimewa berupa hak imunitas, yang menyatakan Advokat tidak dapat dituntut. Hal ini sejalan dengan Pasal 16 UU Advokat yang berbunyi:
“Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan.”
Hal demikian dipertegas dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 26/PUU-XI/2013 yang menyatakan bahwa Pasal 16 UU Advokat mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai:
“Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan.”
Adapun yang dimaksud dengan itikad baik dalam ketentuan ini adalah Advokat menjalankan tugas profesinya berdasarkan hukum untuk membela kliennya demi tegaknya keadilan. Sementara itu, sidang pengadilan memiliki arti setiap tingkat pengadilan di semua lingkup peradilan.[2] Dengan demikian, jika terdapat itikad buruk dari Advokat, maka hak imunitas atau kekebalan hukum Advokat tidak berlaku.[3] Sebagai contoh, Advokat menyuruh Klien untuk menceritakan hal-hal yang dialaminya tidak sesuai dengan fakta yang ada pada saat persidangan. Dalam hal Advokat melakukan hal tersebut, tentunya hak imunitas atau kekebalan hukum yang dimiliki Advokat menjadi tidak berlaku. Lain halnya apabila Advokat menasihati kliennya dengan itikad baik, maka hak imunitas atau kekebalan hukum yang dimiliki Advokat menjadi berlaku.
Sebagai kesimpulan, hak imunitas Advokat tidak diberikan secara mutlak. Advokat tidak kebal hukum, sehingga ia tetap dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Imunitas advokat merupakan suatu kebebasan demi rasa nyaman dan indepedensi dalam melakukan tugas profesinya, tetapi hal tersebut dibatasi oleh itikad baik.[4] Hal ini tentu dengan alasan bahwa profesi Advokat bukan hanya penegak hukum, melainkan juga sebuah profesi hukum yang memberikan jasa dan layanan hukum berdasarkan ilmu pengetahuan dan keterampilan hukum yang tetap berlandasakan etika profesi hukum dan peran masing-masing penegak hukum sesuai peraturan perundang-undangan.[5]
Dasar Hukum:
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4288); dan
- Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 26/PUU-XI/2013.
Referensi:
[1] Khambali, Muhammad, Fungsi Filsafat Hukum dalam Pembentukan Hukum di Indonesia, Jurnal Supremasi Hukum, Volume 3-Nomor 1, 2014, halaman 2.
[2] Penjelasan Pasal 16 UU Advokat.
[3] Tri Jaya, Benarkah Pengacara Itu Kebal Hukum?, https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5a1295b830959/benarkah-pengacara-itu-kebal-hukum, (diakses pada 23 September 2021).
[4] Muhammad Khambli, Hak Imunitas Advokat Tidak Tak Terbatas, Cakrawala Hukum, Volume 14-Nomor 1, 2017, halaman 23-25.
[5] Ibid., halaman 28.