Home / Uncategorized / Fungsi Praperadilan Bagi Tersangka Pelaku Tindak Pidana

Fungsi Praperadilan Bagi Tersangka Pelaku Tindak Pidana

Penulis: Joshua Gabriel Nainggolan

Indonesia sebagai negara hukum menerapkan konsep rechtsstaat, yaitu negara yang menghasilkan penyempurnaan sistem pemerintahan negara yang didasarkan kedaulatan rakyat. pemerintah melaksanakan tugas dan kewajiban berdasarkan hukum, jaminan hak asasi manusia, pembagian kekuasaan negara, dan pengawasan dari badan-badan peradilan.[1] Salah satu penerapan konsep rechtsstaat tertuang dalam tujuan Hukum Acara Pidana, yaitu untuk mendapatkan kebenaran materiil sebenar-benarnya, menegakan ketertiban hukum masyarakat, dan melindungi hak-hak asasi individu, baik korban maupun tersangka pelaku tindak pidana.[2] Dalam praktiknya hak-hak asasi individu khususnya bagi tersangka pelaku tindak pidana tidak selalu terlindungi akibat adanya upaya paksa aparat penegak hukum yang bertentangan dengan undang-undang.[3] Oleh karena itu, tersangka pelaku tindak pidana yang merasa haknya dilanggar perlu mengetahui tentang keberadaan lembaga yang bertujuan untuk melindungi hak tersangka dari upaya paksa aparat penegak hukum yang bertentangan dengan undang-undang yaitu praperadilan.[4]

Praperadilan diatur dalam Pasal 1 butir 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP) adalah:

“Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus tentang:

  1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan/atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
  2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
  3. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.”

Wewenang ini diperjelas dalam Pasal 77 KUHAP yang berbunyi: 

“Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:

  1. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; 
  2. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

Pasal 77 huruf a melalui putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 sudah tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan. Praperadilan yang dijelaskan dalam pasal-pasal tersebut hanyalah tugas dan wewenang Pengadilan Negeri. Hal ini berarti pengadilan dalam lingkungan peradilan lain tidak boleh menangani praperadilan.[5] Pasal 79 KUHAP, Pasal 80 KUHAP, dan Pasal 81 KUHAP menjelaskan tentang subjek Hukum Acara Pidana yang dapat mengajukan upaya praperadilan. Pasal 79 menjelaskan tentang pihak yang dapat mengajukan upaya praperadilan atas keabsahan upaya paksa yang dilakukan oleh aparat penegak hukum yaitu pihak tersangka, pihak keluarga tersangka, dan pihak lain atas kuasa tersangka. Pasal 80 KUHAP juga mengatur pihak yang dapat meminta untuk memeriksa keabsahan penghentian penyidikan atau penuntutan yaitu penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan. Melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 98/PUU-X/2012, Frasa “pihak ketiga” dalam Pasal 80 KUHAP ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “termasuk saksi korban atau pelapor, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi kemasyarakatan”. Frasa “pihak ketiga” dalam Pasal 80 KUHAP juga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “termasuk saksi korban atau pelapor, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi kemasyarakatan”. Pasal 81 KUHAP menjelaskan tentang pihak yang dapat meminta ganti rugi atas ketidakabsahan penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan dan penuntutan dapat diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebut alasannya.[6]

Proses persidangan dalam praperadilan tentu berbeda dengan proses sidang pokok perkara pidana di Pengadilan Negeri. Praperadilan harus diajukan sebelum proses suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh Pengadilan Negeri agar permohonan praperadilan tersebut tidak gugur selama frasa “sudah mulai diperiksa” tidak dimaknai “permintaan praperadilan gugur ketika pokok perkara telah dilimpahkan dan telah dimulai sidang pertama terhadap pokok perkara atas nama pemohon praperadilan, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XIII/2015.[7] Pemeriksaan dalam praperadilan dilakukan dengan cepat dan hakim harus sudah mengeluarkan putusan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah permohonan praperadilan diperiksa sebagaimana diatur dalam Pasal 82 ayat (1) huruf c KUHAP.[8] Berbicara mengenai putusan praperadilan, menurut Pasal 82 ayat (3) KUHAP terdapat bentuk pelaksanaan putusan praperadilan yang berbunyi:

  1. Dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penangkapan atau penahanan tidak sah; maka penyidik atau jaksa penuntut umum pada tingkat pemeriksaan masing-masing harus segera membebaskan tersangka;
  2. Dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penghentian penyidikan atau penuntutan tidak sah, penyidikan atau penuntutan terhadap tersangka wajib dilanjutkan;
  3. Dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau penahanan tidak sah, maka dalam putusan dicantumkan jumlah besarnya ganti kerugian dan rehabilitasi yang diberikan, sedangkan dalam hal suatu penghentian penyidikan atau penuntutan adalah sah dan tersangkanya tidak ditahan, maka dalam putusan dicantumkan rehabilitasinya; dan 
  4. Dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang tidak termasuk alat pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan bahwa benda tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka atau dan siapa benda itu disita.”

Jadi menurut Pasal 82 ayat (3) KUHAP terdapat 4 (empat) bentuk putusan praperadilan yaitu: melakukan perbuatan tertentu, melakukan pembayaran sejumlah uang, dan pemberian rehabilitasi. [9] Melakukan perbuatan tertentu diatur dalam Pasal 82 ayat (3) huruf a, b, c, dan d yaitu pelaksanaan yang dilakukan oleh penyidik dan penuntut umum sebagai termohon untuk melakukan suatu tindakan seperti: 

  1. Pembebasan tersangka jikalau penangkapan atau penahanan tidak sah;
  2. Pemberhentian penyidikan atau penuntutan yang tidak sah; 
  3. Pemberian ganti rugi dan rehabilitasi; dan
  4. Pengembalian barang yang tidak termasuk alat pembuktian.[10] 

Berdasarkan pemaparan diatas dapat disimpulkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa praperadilan adalah sebuah lembaga yang diatur dalam KUHAP. Praperadilan memiliki fungsi sebagai salah satu perwujudan penegakan hak asasi manusia dalam KUHAP. Hal ini dapat dilihat dari tugas praperadilan untuk memeriksa kelengkapan administratif dari sebuah tindakan upaya paksa oleh aparat penegak hukum agar dipastikan tidak melanggar hukum maupun hak asasi manusia tersangka pelaku tindak pidana.[11] Jika memang terjadi upaya paksa yang melanggar hukum terhadap tersangka pelaku tindak pidana, maka tersangka pelaku tindak pidana melalui praperadilan dapat dibebaskan atau meminta ganti rugi atau juga meminta pemulihan nama baik.

Dasar Hukum

  • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209).

Referensi:

[1] Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2018), halaman 3-5.

[2] R. Soeparmono, Praperadilan dan Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian dalam KUHAP, (Bandung: Mandar Maju, 2015), halaman 6.

[3] M. Irfan Islami Rambe, Upaya Hukum Peraperadilan, Jurnal Pionir LLPM Universitas Asahan Volume 2-Nomor 3, Juli-Desember 2017, halaman 2.

[4] Ibid. 

[5]  R. Soeparmono, Praperadilan dan Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian dalam KUHAP, (Bandung: Mandar Maju, 2015), halaman 12.

[6] Lovita Gamelia Kimbal, Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Putusan Akibat Praperadilan yang Diterima, Lex et Societatis, Volume 2-Nomor 6 Juli 2014, halaman 64.

[7] M. Irfan Islami Rambe, Upaya Hukum Peraperadilan, Jurnal Pionir LLPM Universitas Asahan Volume 2-Nomor 3, Juli-Desember 2017, halaman 3-4.

[8] Ibid.

[9] Lovita Gamelia Kimbal, supra notes nomor 6, halaman 65.

[10] Ibid., halaman 66. 

[11] Maesa Plangitan, Fungsi dan Wewenang Lembaga Praperadilan dalam Sistem Praperadilan di Indonesia, Lex Crimen Volume 2-Nomor 6, Oktober 2013, halaman 33.