Fenomena Pekerja Anak, Bagaimana Hukumnya di Indonesia?

Penulis : Tiara Nabila

Setiap anak berhak atas jaminan kehidupan yang layak, mendapatkan perlindungan, mengenyam pendidikan, bermain, dan lain-lain. Akan tetapi, tidak semua anak bisa merasakan pemenuhan atas hak-haknya tersebut. Hal ini dikarenakan masih ada anak yang harus berjuang untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dengan menjadi pekerja dan meninggalkan masa bermain, belajar, dan lainnya. Fenomena ini dapat dibuktikan melalui data yang diperoleh dari International Labour Organization (ILO) yang menyebutkan bahwa jumlah pekerja anak di dunia mencapai 160 (seratus enam puluh juta) anak.[1] Data tersebut meningkat sekitar 8,4 (delapan koma empat) juta anak dalam 4 (empat) tahun terakhir. Sementara itu, di Indonesia pada tahun 2022 pekerja anak mencapai 2,3 (dua koma tiga) juta anak.[2] Lantas, bagaimana hukum di Indonesia mengatur fenomena pekerja anak?

Sebelum membahas mengenai pengaturan hukum pekerja anak di Indonesia, perlu diketahui terlebih dahulu definisi “anak” menurut Undang-Undang. Dalam Pasal 1 angka 26 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut UU Tenaker), anak didefinisikan sebagai setiap orang yang berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun. Pada dasarnya setiap anak tidak diperkenankan untuk dipekerjakan. Hal tersebut sebagaimana diatur di dalam Pasal 68 UU Tenaker yang menyatakan bahwa: “Pengusaha dilarang mempekerjakan anak.” Larangan tersebut tentu didasarkan pada tujuan perlindungan anak, diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (selanjutnya disebut UU Perlindungan Anak) dirumuskan bahwa: 

“Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.”

Artinya, anak dilahirkan untuk dapat hidup dengan layak, tumbuh dan berkembang serta berpartisipasi secara maksimal dalam kehidupan yang sejahtera, bukan untuk dipekerjakan. 

Dalam situasi lain, terdapat ketentuan dari ILO Convention No. 138 Concerning Minimum Age for Admission to Employment (Konvensi ILO Mengenai Usia Minimum Untuk Diperbolehkan Bekerja) yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999. Di dalam konvensi tersebut, ILO mengatur bahwa usia minimum seorang anak dapat bekerja adalah 15 (lima belas) tahun. Dengan adanya ratifikasi terhadap konvensi tersebut, di Indonesia juga diberlakukan demikian meskipun dengan sedikit perbedaan ketentuan. Pasal 69 UU Tenaker mengatur perihal keadaan tertentu yang mendorong anak harus bekerja, sehingga diperlukan pengecualian. Pasal 69 ayat (1) UU Tenaker menyatakan bahwa:

“Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dapat dikecualikan bagi anak yang berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial.”

Berdasarkan Pasal 69 tersebut dapat diketahui bahwa, anak yang berusia antara 13 (tiga belas) hingga 15 (lima belas) tahun diperbolehkan untuk menjadi pekerja. Ketentuan tersebut menegaskan bahwa anak diperbolehkan untuk menjadi pekerja apabila pekerjaan tersebut tergolong ringan yakni pekerjaan yang tidak akan mengganggu perkembangan dan kesehatan, baik fisik, mental, maupun sosial anak tersebut. 

Seorang anak yang akan menjadi pekerja atau dipekerjakan tentu dilindungi oleh hukum. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum seorang anak menjadi pekerja maupun dipekerjakan untuk pekerjaan ringan. Syarat tersebut diatur dalam Pasal 69 ayat (2) yang merumuskan bahwa:

“Pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi persyaratan:

a. izin tertulis dari orang tua atau wali;

b. perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali;

c. waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam;

d. dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah;

e. keselamatan dan kesehatan kerja;

f. adanya hubungan kerja yang jelas; dan

g. menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.”

Adanya frasa “harus memenuhi..” tersebut berarti bahwa kaidah tersebut merupakan kaidah yang memaksa. Artinya, bagi setiap anak yang dipekerjakan pengusaha harus memastikan terpenuhinya persyaratan tersebut. Akan tetapi berdasarkan Pasal 69 ayat (3) UU Tenaker dijelaskan bahwa, khusus untuk anak yang bekerja pada perusahaan keluarganya, tidak perlu memenuhi syarat terkait izin tertulis dari orang tua atau wali, perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali; adanya hubungan kerja yang jelas, serta menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 

Ketentuan Pasal 69 ayat (1) UU Tenaker tidak memberikan penjelasan terkait apa yang dimaksud dengan pekerjaan ringan yang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial anak. Akan tetapi, ketentuan tersebut dapat dipahami melalui Pasal 74 Ayat (2) UU Tenaker yang mengatur tentang larangan anak melakukan pekerjaan-pekerjaan yang terburuk. Dalam Pasal 74 Ayat (2) UU Tenaker menyatakan bahwa: 

“Pekerjaan-pekerjaan yang terburuk yang dimaksud dalam ayat (1) meliputi:

a. segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya;

b. segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau menawarkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno, atau perjudian;

c. segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau melibatkan anak untuk produksi dan perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; dan/atau;

d. semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak.”

Artinya, pekerjaan ringan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) UU Tenaker merupakan pekerjaan yang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial anak serta selain daripada pekerjaan-pekerjaan yang terburuk dalam Pasal 74 Ayat (2) tersebut. Ketentuan tersebut sebenarnya juga merupakan implikasi dari ratifikasi ILO Convention No. 182 Concerning The Prohibition and Immediate Action for The Elimination of The Worst Forms of Child Labour atau (Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak) melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000. Secara rinci juga dinyatakan dalam Lampiran Keputusan Presiden Nomor 59 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak, bentuk-bentuk pekerjaan terburuk anak yakni seperti; dilacurkan, dipekerjakan di pertambangan, industri rumah tangga, industri yang menggunakan bahan kimia berbahaya atau bahan peledak, hingga pelarangan dipekerjakan menjadi pemulung sampah, penyelam mutiara, pembantu rumah tangga, dan lain-lain. Dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep./235/MEN/2003 juga dirincikan mengenai jenis-jenis pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak. Peraturan menteri membagi jenis pekerjaan buruk yang membahayakan anak pada: 

  1. Pekerjaan yang berhubungan dengan mesin, pesawat, instalasi, dan peralatan lainnya meliputi pembuatan, perakitan, pengoperasian, perawatan dan perbaikan;
  2. Pekerjaan yang membahayakan baik secara fisik, kandungan bahan kimia, maupun bahaya secara biologis;
  3. Pekerjaan yang membahayakan moral anak.

Dengan demikian, anak sebenarnya tidak boleh dipekerjakan. Akan tetapi, hal tersebut dapat dikecualikan apabila anak yang dipekerjakan berusia antara 13 (tiga belas) tahun hingga 15 (lima belas) tahun serta dipekerjakan untuk pekerjaan ringan yang tidak menganggu kesehatan, fisik, dan mental serta sosial anak tersebut. Sepanjang bukan pekerjaan-pekerjaan yang terburuk sebagaimana diatur dalam Pasal 74 ayat (2) UU Tenaker dan peraturan terkait lainya yang telah dijelaskan di atas. Adanya pengaturan tersebut menunjukkan bahwa hukum memberikan perlindungan terhadap anak yang berpotensi untuk menjadi bekerja atau dipekerjakan. Dengan adanya pengaturan tersebut, setiap anak yang karena suatu keadaan harus bekerja tetap mendapat perlindungan hukum, dan terjaga hak-haknya sebagai anak.

Dasar Hukum

  • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia  Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4279)
  • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor Republik Indonesia 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109 , Tambahan Lembaran Negara Nomor 4235) sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 297, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5606). 
  • Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak.
  • Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP.235/MEN/2003 tentang Jenis-Jenis Pekerjaan yang Membahayakan Kesehatan Keselamatan atau Moral Anak.
  • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO Convention No. 138 Concerning Minimum Age for Admission to Employment (Konvensi ILO mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3835).
  • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO Convention No. 182 Concerning The Prohibition and Immediate Action for The Elimination of The Worst Forms of Child Labour atau (Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3941).

Referensi 

[1] Press release ILO, Pekerja Anak Meningkat Menjadi 160 Juta-Peningkatan Pertama Dalam Dua Dasawarsa, https://www.ilo.org/jakarta/info/public/pr/WCMS_804223/lang–en/index.htm (diakses pada 18 Oktober 2023)

[2] Monica Ayu, Kasus-Kasus Pekerja Anak di Indonesia, https://nasional.kompas.com/read/2022/03/20/03000011/kasus-kasus-pekerja-anak-di-indonesia (diakses pada 7 Juli 2023). 

Baca Juga

Perjanjian Perkawinan: Penting atau Tidak?

Perjanjian Perkawinan: Penting atau Tidak?

Narasumber: Lidwina Larasati Himawan, S.H., M.H. Notulen: Febri Patricia Margareth Simanjuntak Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) pada dasarnya tidak memberikan definisi atau arti dari perjanjian perkawinan. Akan...