Home / Uncategorized / Direksi yang Mengalami Pemutusan Hubungan Kerja Berhak Menerima Pesangon

Direksi yang Mengalami Pemutusan Hubungan Kerja Berhak Menerima Pesangon

Penulis: Josef Henokh Widodo

Kedudukan hukum pekerja yang diangkat berdasarkan perjanjian kerja berbeda dengan kedudukan hukum Direksi, apalagi terkait pesangon saat terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (selanjutnya disebut PHK).[1] Pengertian Pekerja telah diatur dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut UU Ketenagakerjaan) yang menyatakan bahwa:

“Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.”

Berdasarkan ketentuan tersebut, seseorang harus memiliki hubungan kerja agar dapat dikategorikan sebagai pekerja, yaitu hubungan antara pengusaha dan pekerja yang didasarkan pada perjanjian kerja dan memenuhi unsur-unsur perjanjian kerja tersebut.[2] Hubungan antara pekerja dan pengusaha adalah hubungan bersifat vertikal, yakni atasan (yang memerintah) dan bawahan (yang diperintah).[3]

Berbeda halnya dengan Direksi yang memiliki keleluasaan yang besar dalam pengurusan dan mewakili Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut PT). Direksi merupakan organ PT yang mempunyai kewenangan untuk menjalankan perusahaan. Dalam menjalankan kewenangannya, seorang Direksi perlu memegang teguh pada 2 (dua) prinsip dasar, yaitu kepercayaan yang diberikan PT kepadanya dan prinsip yang merujuk pada kemampuan serta kehatian-hatian dalam tindakan Direksi (duty of skill and care).[4] Pengertian Direksi telah diatur dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut UU PT) yang menyatakan bahwa:

“Direksi adalah Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.”

Pengertian di atas menunjukkan bahwa Direksi berperan sebagai penerima kuasa dari PT untuk menjalankan PT sesuai dengan kepentingannya dalam mencapai tujuan yang sebagaimana telah ditetapkan dalam Anggaran Dasar Perseroan Terbatas (ADPT).[5] Hubungan hukum antara Direksi dan PT didasarkan pada hubungan kepercayaan (fiduciary duties) dan pemberian amanat (legal mandatory), atau hubungan yang bersifat koordinasi (partnership) sehingga memiliki kedudukan yang setara dan seimbang.[6] Di sisi lain, Direksi juga berperan sebagai pekerja di PT dalam hubungan atasan-bawahan, yang berarti Direksi tidak diperkenankan untuk melaksanakan sesuatu yang tidak atau bukan menjadi kewenangannya.[7]

Sebagaimana diketahui bahwasannya Direksi bukan dikategorikan sebagai pekerja, tetapi sebagai pengusaha.[8] Adapun pengertian pengusaha yang telah diatur dalam Pasal 1 angka 5 UU Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa:

“Pengusaha adalah:

  1. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
  2. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
  3. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.”

Berdasarkan rumusan pasal di atas, Direksi dapat dianggap sebagai pengusaha karena memiliki 2 (dua) wewenang utama, yaitu menjalankan perusahaan miliknya sendiri maupun bukan miliknya, serta mewakili PT. Dalam lingkup hukum perdata, perwakilan atau kuasa mengacu pada perbuatan hukum yang dilakukan oleh seseorang untuk dan atas nama orang lain. Direksi bertanggung jawab secara absolut atas perbuatan hukum yang dilakukan.[9] Dengan demikian, semua tindakan yang dilakukan oleh Direksi sebagai penerima kuasa dari PT dapat dipertanggungjawabkan secara mandiri dan menyeluruh.[10]

Permasalahan hukum muncul ketika terjadi PHK terhadap pekerja yang diangkat menjadi Direksi PT. Hal ini terutama terkait dengan kedudukan hukum Direksi tersebut, serta akibat hukum yang timbul terkait hak dan kewajiban, termasuk pesangon yang diterima oleh pekerja yang diangkat menjadi Direksi PT.[11] Hal ini mengacu pada Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Koperasi Nomor 482/DD II/Kps JS/73 Tahun 1973 tentang Status Seorang Direktur Perusahaan (selanjutnya disebut SE Menaker 482/DD II/Kps JS/73) yang mengatur kedudukan dan hubungan hukum Direksi dalam PT. SE Menaker 482/DD II/Kps JS/73 membagi status hukum Direksi PT menjadi dua, yaitu Direksi sebagai pengusaha dan Direksi sebagai pekerja biasa. Apabila seseorang diangkat menjadi Direksi dalam akta pendirian PT, maka orang tersebut bukan pekerja, melainkan seorang Direksi yang diangkat diantara pendiri-pendiri dan biasanya memiliki saham dalam PT. Artinya, Direksi tersebut dianggap sebagai pengusaha. Direksi sebagai pengusaha dapat diberhentikan secara langsung dan sementara.[12] Pemberhentian Direksi secara langsung diatur dalam Pasal 105 ayat (1) UU PT yang menyatakan bahwa:

“Anggota Direksi dapat diberhentikan sewaktu-waktu berdasarkan keputusan RUPS dengan menyebutkan alasannya.”

Berdasarkan ketentuan di atas, Rapat Umum Pemegang Saham (selanjutnya disebut RUPS) melalui keputusannya berwenang memberhentikan Direksi secara langsung.[13] Lalu, dalam penjelasan Pasal 105 ayat (1) UU PT, keputusan RUPS untuk memberhentikan anggota Direksi dapat dilakukan dengan alasan yang bersangkutan tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai anggota Direksi yang ditetapkan dalam UU PT, antara lain melakukan tindakan yang merugikan PT atau karena alasan lain yang dinilai tepat oleh RUPS. Sementara, pemberhentian Direksi secara sementara diatur dalam Pasal 106 ayat (1) UU PT yang menyatakan bahwa:

“Anggota Direksi dapat diberhentikan untuk sementara oleh Dewan Komisaris dengan menyebutkan alasannya.”

Berdasarkan rumusan pasal tersebut, Dewan Komisaris berwenang memberhentikan Direksi secara sementara.[14] Dalam penjelasan Pasal 106 ayat (1) UU PT, pemberhentian anggota Direksi oleh RUPS memerlukan waktu untuk pelaksanaannya, sedangkan kepentingan PT tidak dapat ditunda. Oleh karena itu, Dewan Komisaris sebagai organ pengawas wajar diberikan kewenangan untuk melakukan pemberhentian.

Pengaturan mengenai gaji dan tunjangan Direksi sebagai pengusaha ditetapkan berdasarkan keputusan RUPS. Hal tersebut diatur dalam Pasal 96 ayat (1) UU PT yang menyatakan bahwa:

“Ketentuan tentang besarnya gaji dan tunjangan anggota Direksi ditetapkan berdasarkan keputusan RUPS.”

Rumusan pasal di atas tidak hanya diberlakukan untuk gaji dan tunjangan, namun dapat diberlakukan juga untuk ketentuan tentang pesangon dan hak-hak anggota Direksi lainnya jika terjadi pemberhentian. Dengan demikian, pengaturan besarnya gaji dan tunjangan, serta pesangon yang diberikan kepada anggota Direksi dapat ditetapkan berdasarkan keputusan RUPS.[15]

Di sisi lain, jika seseorang professional managers yang dalam praktiknya sering diberi nama Direksi dan memiliki kontrak dengan perusahaan, serta diangkat oleh Direksi atau Dewan Komisaris tanpa melalui RUPS dan tidak diangkat dalam akta pendirian PT, maka dianggap sebagai pekerja biasa yang mempunyai keahlian dalam bidang management. Artinya, pekerja yang dipromosikan menjadi Direksi tersebut tetap memiliki kedudukan hukum sebagai pekerja meskipun menjabat sebagai Direksi dalam PT.[16] Dengan demikian, apabila pekerja yang diangkat menjadi Direksi tersebut mengalami PHK, maka ia berhak atas kompensasi (uang pesangon, penggantian hak, dan lain-lain) yang diatur di dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.[17]

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa berdasarkan SE Menaker 482/DD II/Kps JS/73, terdapat 2 (dua) kategori Direksi, yaitu Direksi sebagai pengusaha dan Direksi sebagai pekerja biasa. Direksi sebagai pengusaha dapat diberhentikan secara langsung melalui keputusan RUPS dan secara sementara oleh Dewan Komisaris sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU PT. Sementara, Direksi sebagai pekerja biasa dapat dilakukan PHK yang menimbulkan kewajiban hukum yang wajib dipenuhi oleh PT, berupa pemberian pesangon sesuai ketentuan hukum di bidang ketenagakerjaan yang berlaku.

Dasar Hukum:

  • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279).
  • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756).
  • Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Koperasi Nomor 482/DD II/Kps JS/73 Tahun 1973 tentang Status Seorang Direktur Perusahaan.

Referensi:

[1] Michael Janitra Wijaya, Tinjauan Hukum Terkait Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja Bagi Pekerja Yang Diangkat Menjadi Direksi Perseroan Terbatas, Jurnal Hukum Visio Justisia, Volume 2-Nomor 1, Juli 2022, halaman 60.

[2] Ibid., halaman 67.

[3] Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), halaman 37.

[4] Michael Janitra Wijaya, supra note nomor 1, halaman 66.

[5] Kurniawan, Tanggung Jawab Direksi Dalam Kepailitan Perseroan Terbatas Berdasarkan Undang-Undang Perseroan Terbatas, Mimbar Hukum, Volume 24-Nomor 2, Juni 2022, halaman 220.

[6] Michael Janitra Wijaya, supra note nomor 1, halaman 68.

[7] Kurniawan, supra note nomor 5.

[8] Michael Janitra Wijaya, supra note nomor 1, halaman 67.

[9] Agus Suprayogi dan Sulaiman Tjoa, Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja Terhadap Direktur Perseroan Yang Dahulu Berstatus Sebagai Pekerja Pada Perseroan Yang Sama, Lex Jurnalica, Volume 16-Nomor 3, Desember 2019, halaman 191.

[10] Michael Janitra Wijaya, supra note nomor 1, halaman 67.

[11] Ibid., halaman 60.

[12] Roni Gunawan Rajagukguk, Direktur Diberhentikan, Berhak atas Pesangon?, https://www.hukumonline.com/klinik/a/direktur-diberhentikan–berhak-atas-pesangon-lt60e7bc13c74bf/#! (diakses pada 18 November 2023, pukul 01.36 WIB).

[13] Ibid.

[14] Ibid.

[15] Roni Gunawan Rajagukguk, supra note nomor 12.

[16] Michael Janitra Wijaya, supra note nomor 1, halaman 69.

[17] Ibid., halaman 81.