Bagaimana Proses Penyelesaian Sengketa Pemutusan Hubungan Kerja
Penulis: Syaima Azzahra Juwl
Sebagai sebuah negara dengan ekonomi berkembang, Indonesia seringkali menghadapi fenomena terkait Pemutusan Hubungan Kerja (selanjutnya disingkat PHK), khususnya pada masa pandemi Corona Virus Disease 2019 (selanjutnya disingkat Covid-19). Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) pada November 2021 tercatat bahwa terdapat 72.983 karyawan telah menjadi korban PHK akibat pandemi Covid-19.[1] Hal ini kerap kali dilakukan oleh pengusaha terhadap pekerja dengan alasan untuk meminimalisir kerugian. Selain itu, PHK juga dapat disebabkan oleh tutupnya perusahaan karena pailit, keadaan memaksa, dan PHK yang diajukan oleh pekerja karena pengusaha melakukan penganiayaan, tidak membayar upah, dsb.[2] Dengan dilakukannya PHK, maka hal tersebut dapat menimbulkan perselisihan antara pengusaha dan pekerja.
Sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (selanjutnya disebut UU 2/2004), perselisihan PHK merupakan salah satu bentuk Perselisihan Hubungan Industrial (selanjutnya disingkat PHI). PHI adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan PHK dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.[3] Lebih lanjut, perselisihan PHK didefinisikan sebagai perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.[4] Dengan demikian, perselisihan yang timbul dalam PHK timbul karena perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh karena adanya perselisihan mengenai PHK dalam suatu perusahaan. Lantas bagaimana cara penyelesaiannya?
Pada dasarnya PHK diupayakan agar tidak terjadi, namun apabila PHK sudah tidak dapat dihindari, maka maksud dan alasan PHK diberitahukan oleh pengusaha kepada pekerja dalam bentuk surat pemberitahuan yang disampaikan secara sah dan patut paling lama 14 (empat belas) hari kerja sebelum PHK.[5] Dalam hal PHK dilakukan pada masa percobaan, surat pemberitahuan disampaikan paling lama 7 (tujuh) hari kerja sebelum PHK.[6] Isi surat pemberitahuan PHK diantaranya adalah maksud dan alasan PHK, kompensasi PHK serta hak lainnya bagi pekerja. [7] Jika pekerja telah menerima surat pemberitahuan dan tidak menolak PHK, maka pengusaha wajib melaporkan PHK kepada Kementerian Ketenagakerjaan dan/atau dinas yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan provinsi dan kabupaten/kota.[8] Sementara itu, bagi pekerja yang menolak PHK, pekerja wajib membuat surat penolakan disertai dengan alasan paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima surat pemberitahuan.[9] Apabila terdapat perbedaan pendapat mengenai PHK, maka penyelesaian PHK diselesaikan melalui perundingan bipartit antara pengusaha dan pekerja. Jika tidak mencapai kesepakatan dalam perundingan bipartit, maka penyelesaian dilakukan melalui mekanisme penyelesaian PHI sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[10]
UU 2/2004 mengatur tata cara penyelesaian PHI melalui 2 (dua) mekanisme, yaitu mekanisme non litigasi (di luar Pengadilan) dan mekanisme litigasi (di dalam Pengadilan).[11] Menurut Bab II tentang tata cara penyelesaian perselisihan hubungan industrial UU 2/2004, terdapat 3 (tiga) cara yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan perselisihan PHK melalui mekanisme non litigasi, yaitu melalui bipartit, mediasi, dan konsiliasi. Sebelum menentukan penyelesaian secara litigasi atau non litigasi, para pihak wajib menyelesaikan perselisihan melalui perundingan bipartit terlebih dahulu yang dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak dimulainya perundingan. Jika salah satu pihak menolak untuk melakukan perundingan bipartit atau telah melakukan perundingan tetapi tidak mencapai suatu kesepakatan, maka perundingan bipartit dianggap gagal.[12]
Jika perundingan bipartit gagal, maka pihak yang berselisih harus mendaftarkan perselisihannya kepada pihak instansi di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan penyelesaian bipartit yang telah dilakukan. Setelah itu, pihak instansi ketenagakerjaan akan menyarankan kepada para pihak yang bersengketa untuk memilih penyelesaian melalui konsiliasi, namun apabila para pihak tidak memilih untuk menyelesaikan perselisihan melalui konsiliasi, maka penyelesaian akan dilimpahkan kepada mediator melalui mediasi.[13] Proses penyelesaian melalui mediasi dilakukan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah mediator menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan, mediator harus sudah mengadakan penelitian mengenai duduk perkara dan mengadakan sidang mediasi. Apabila tercapai kesepakatan di antara kedua belah pihak dalam mediasi, maka akan dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak. Perjanjian Bersama tersebut didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.[14]
Jika para pihak tidak mencapai kesepakatan dalam mediasi, maka mediator akan membuat anjuran yang disampaikan dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang mediasi pertama harus sudah disampaikan kepada para pihak dan para pihak wajib untuk menjawab anjuran tersebut dalam 10 (sepuluh) hari kerja sejak diterima. Apabila para pihak tidak memberikan jawaban, maka para pihak akan dianggap menolak anjuran tersebut.[15] Sementara itu, apabila para pihak setuju dengan anjuran yang disampaikan mediator, maka para pihak diwajibkan untuk membuat Perjanjian Bersama dalam waktu 3 (tiga) hari sejak anjuran diterima. Perjanjian Bersama tersebut didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial wilayah para pihak yang mengadakan Perjanjian Bersama tersebut agar mendapatkan akta bukti pendaftaran.[16] Untuk penyelesaian perselisihan PHK melalui konsiliasi, pada dasarnya memiliki tahapan yang sama dengan penyelesaian melalui mediasi, namun penanganannya dilaksanakan oleh konsiliator yang merupakan pihak swasta yang telah memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri Ketenagakerjaan.[17]
Sementara itu, untuk penyelesaian perselisihan PHK melalui mekanisme litigasi dapat dilakukan dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial. Pengadilan Hubungan Industrial adalah peradilan tingkat pertama dalam perselisihan PHK yang berada di Pengadilan Negeri untuk menangani perkara khusus, yaitu PHI.[18] Perlu diketahui bahwa dalam perselisihan PHK tidak ada upaya hukum untuk banding di Pengadilan Tinggi, melainkan langsung melakukan upaya kasasi di Mahkamah Agung.[19] Gugatan yang diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial hanya dapat dilakukan apabila penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi tidak berhasil. Pengajuan gugatan melalui Pengadilan Hubungan Industrial prosedurnya sama dengan gugatan perkara perdata pada umumnya. Gugatan yang diajukan kepada Pengadilan Hubungan Industrial harus dilampirkan risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi. Apabila gugatan tersebut tidak dilampirkan risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi, maka hakim akan mengembalikan gugatan kepada penggugat atau dengan kata lain gugatan tidak dapat diterima.[20]
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa penyelesaian perselisihan PHK dapat dilakukan melalui mekanisme litigasi dan non litigasi. Untuk mekanisme non litigasi dapat dilakukan dengan cara bipartit, mediasi, dan konsiliasi. Perselisihan PHK wajib diupayakan terlebih dahulu penyelesaiannya melalui perundingan bipartit, apabila melalui bipartit masih belum mencapai kesepakatan, maka para pihak berhak untuk memilih proses penyelesaian perselisihan lain, seperti mediasi, konsiliasi. Apabila proses mediasi atau konsiliasi gagal, maka para pihak dapat menyelesaikan perselisihan dengan mekanisme litigasi. Proses penyelesaian perselisihan PHK dengan mekanisme litigasi dilakukan melalui Pengadilan Hubungan Industrial dan gugatan harus dilampirkan risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi. Jika gugatan tidak dilampirkan risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi, maka gugatan tidak dapat diterima.
Dasar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279).
- Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4356).
- Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856).
- Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 238, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6841).
- Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja Dan Waktu Istirahat, Dan Pemutusan Hubungan Kerja, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6647).
Referensi:
[1] Dwi Aditya Putra, Kemnaker: 72.983 Pekerja Kena PHK Selama Pandemi Covid-19, https://www.liputan6.com/bisnis/read/4750566/kemnaker-72983-pekerja-kena-phk-selama-pandemi-covid-19, (diakses pada 26 April 2023).
[2] Pasal 36 PP 35/2021
[3] Pasal 1 angka 1 UU 2/2004
[4] Pasal 1 angka 4 UU 2/2004
[5] Pasal 81 butir 40 UU 6/2023 tentang Penetapan Perpu 2/2022 Jo. Pasal 37 ayat (1), (2), dan (3) PP 35/2021
[6] Pasal 37 ayat (4) PP 35/2021
[7] Penjelasan Pasal 37 ayat (3) PP 35/2021
[8] Pasal 38 PP 35/2021
[9] Pasal 81 butir 40 UU 6/2023 tentang Penetapan Perpu 2/2022 Jo. Pasal 39 ayat (1) PP 35/2021
[10] Pasal 81 butir 40 UU 6/2023 tentang Penetapan Perpu 2/2022 Jo. Pasal 39 ayat (2) dan (3) PP 35/2021
[11] Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014), halaman 122.
[12] Pasal 3 ayat (1), (2), dan (3) UU 2/2004
[13] Pasal 4 ayat (1), (3), dan (4) UU 2/2004
[14] Pasal 10 dan Pasal 13 ayat (1) UU 2/2004
[15] Pasal 13 ayat (2) UU 2/2004
[16] Pasal 13 ayat (2) dan (3) UU/2004
[17] Lalu Husni, supra note nomor 11, halaman 124.
[18] Syahrul Machmud, Hukum Acara Khusus Pada Pengadilan Hubungan Industrial, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014).
[19] Paulus A. Piter, Upaya Hukum Dalam Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, Jurnal Lex Et Societatis, Volume 6-Nomor 5, Juli 2018, halaman 59.
[20] Lalu Husni, supra note nomor 11, halaman 132.