Mengenal Asas Teritorial dalam Hukum Pidana
Penulis: Brian Dave
Dalam menerapkan peraturan-peraturan pidana dalam suatu negara, hakim dan pengadilan hanya dapat memberlakukan hukum positif yang ada di negara tersebut. Hal tersebut merupakan bentuk kedaulatan negara dalam melaksanakan penegakan hukum. Mengenai keberlakuan suatu hukum pidana, terdapat 4 (empat) asas yang diakui keberadaannya, yaitu asas teritorial, asas nasional aktif (kebangsaan), asas nasional pasif (perlindungan), dan asas universalitas (persamaan). Tulisan ini secara spesifik akan membahas mengenai asas teritorial.
Salah satu asas hukum pidana adalah asas teritorial atau asas wilayah. Berdasarkan asas ini, perundang-undangan pidana suatu negara berlaku untuk setiap subjek hukum yang melakukan tindak pidana di wilayah negara yang bersangkutan. Menurut Profesor van Hattum, setiap negara berkewajiban menjamin keamanan dan ketertiban di dalam wilayah negaranya masing-masing.[1] Oleh karena itu, negara dapat mengadili setiap orang yang melanggar peraturan pidana yang berlaku di negara tersebut. Di Indonesia, asas teritorial diatur dalam Pasal 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP) yang berbunyi:
“Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan sesuatu tindak pidana di Indonesia.”
Selain dalam Pasal 2 KUHP, asas teritorial juga ditemukan dalam Pasal 3 KUHP, yang telah diubah melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976. Pasal 3 tersebut berbunyi:
“Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana di dalam kendaraan air atau pesawat udara Indonesia”
Sebagai keterangan tambahan, rumusan pasal 2 KUHP menyebutkan kata “di Indonesia”, namun tidak melakukan perincian secara lebih spesifik. Adapun mengenai hal tersebut diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara. Pasal tersebut berbunyi:
“Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang selanjutnya disebut dengan Wilayah Negara adalah salah satu unsur negara yang merupakan satu kesatuan wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial beserta dasar laut dan tanah di bawahnya, serta ruang udara di atasnya, termasuk seluruh sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya”
Berdasarkan bunyi pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan wilayah Indonesia adalah mencakup daratan, perairan, dan juga ruang udara yang berada di atasnya. Hal ini berarti segala pelanggaran terhadap hukum pidana Indonesia, baik yang terjadi di daratan, di perairan, maupun di udara, dapat ditegakkan oleh penegak hukum Indonesia.
Sebagai tambahan, Pasal 3 KUHP mengindikasikan bahwa selain di wilayah Indonesia yang mencakup daratan, perairan, dan udara, perundang-undangan pidana di Indonesia dapat diberlakukan juga pada pelanggaran hukum pidana yang terjadi di kendaraan air atau pesawat udara Indonesia. Penggunaan kata “di luar wilayah Indonesia” menunjukan bahwa pembentuk undang-undang menganggap bahwa kendaraan air atau pesawat udara tersebut juga merupakan bagian dari wilayah negara Indonesia. Apabila ketentuan tesebut tidak ada dan terjadi suatu pelanggaran pidana di atas kendaraan air atau pesawat udara Indonesia, maka pelaku pelanggaran tersebut akan terlepas dari penuntutan dan penghukuman menurut perundang-undangan Indonesia.[2]
Melanjuti pada ketentuan Pasal 3 KUHP ini, juga diatur juga dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-Undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan (Selanjutnya disebut UU 4/1976). Dalam Undang-Undang ini dipaparkan pada Pasal 95 a bahwa:
- Yang dimaksud dengan “pesawat udara Indonesia” adalah pesawat udara yang didaftarkan di Indonesia;
- Termasuk pula pesawat udara Indonesia adalah pesawat udara asing yang disewa tanpa awak pesawat dan dioperasikan oleh perusahaan penerbangan Indonesia.”
Sehingga dapat disimpulkan bahwa salah satu asas keberlakuan hukum pidana menurut tempat terjadinya yaitu asas teritorial berlaku di Indonesia. Hal ini tercantum secara eksplisit dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Selain itu pula, mengenai perpanjangan asas teritorial ke trasportasi udara juga dijelaskan dalam pengaturan khusus dalam UU 4/1976 yang memberikan klasifikasi tindak pidana di pesawat udara yang dapat tuntut. Dengan begitu, melalui asas ini mengartikan bahwa hukum pidana Indonesia berlaku atas pelanggaran yang terjadi di wilayah Indonesia, baik di daratan, di perairan, maupun di udara, dan juga di dalam kendaraan air atau pesawat udara Indonesia.
Dasar Hukum :
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Bertalian Dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-Undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan, dan Kejahatan Terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan.
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 177, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4925).
Referensi:
[1] P.A.F. Lamintang dan Franciscus Theojunior Laminating, Dasar-Dasar Hukum Pidana di Indonesia, (Jakarta : PT Sinar Grafika, 2014), halaman 90.
[2] Ibid., halaman 92.