Apakah Perbedaan Tindak Pidana Korupsi dan Penggelapan?

Penulis: Gloria Beatrix

Pengertian tindak pidana korupsi berdasarkan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang kemudian mengalami perubahan lagi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016 adalah:

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”

Melalui pengertian tindak pidana korupsi dari Pasal 2 Ayat 1 UU Tipikor ini, terlihat bahwa terdapat 3 (tiga) unsur yaitu melawan hukum, untuk memperkaya diri sendiri, dan kerugian negara.[1] Ketiga unsur ini harus saling berhubungan dan dapat dibuktikan keberadaannya. Adapun jenis tindak pidana korupsi terbagi dalam 7 (tujuh) kelompok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 12C UU Tipikor, yaitu:

  1. Tindak Pidana Korupsi yang merugikan keuangan negara (Pasal 2 dan Pasal 3);
  2. Tindak Pidana Korupsi berupa praktek suap menyuap (Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b, Pasal 13, Pasal 5 ayat (2), Pasal 12 huruf a dan b, Pasal 11, Pasal 6 ayat (1) huruf a dan huruf b, Pasal 6 ayat (2), Pasal 12 huruf c dan huruf d;
  3. Tindak Pidana Korupsi berupa penggelapan dalam jabatan (Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 huruf a, huruf b dan huruf c);
  4. Tindak Pidana Korupsi berupa pemerasan (Pasal 12 huruf e, huruf f dan huruf g);
  5. Tindak Pidana Korupsi berupa perbuatan curang (Pasal 7 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c dan huruf d, Pasal 7 ayat (2), Pasal 12 huruf h;
  6. Tindak Pidana Korupsi berupa benturan kepentingan dalam pengadaan (Pasal 12 huruf i);
  7. Tindak Pidana Korupsi berupa gratifikasi (Pasal 12 B jo. Pasal 12 C).

Pelaku dari tindak pidana korupsi ini berasal dari pegawai negeri atau penyelenggara negara, penegak hukum, atau siapa saja dalam jabatannya yang merugikan keuangan negara.[2] Setelah pelaku ditangkap, pelaku dari tindak pidana korupsi ini akan ditangani oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang merupakan pengadilan khusus dalam Peradilan Umum.[3]

Sementara itu, pengertian penggelapan berdasarkan dari Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP) adalah:

“Barang siapa dengan sengaja menguasai secara melawan hukum, sesuatu benda yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, yang berada padanya bukan karena kejahatan, karena salah telah melakukan penggelapan, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun atau dengan hukuman denda setinggi-tingginya sembilan ratus rupiah.”

Penggelapan ini merupakan kejahatan yang hampir sama dengan pencurian, tetapi pada saat terjadi penggelapan, barang sudah berada pada pelaku tanpa melalui kejahatan atau melawan hukum.[4] Selain itu, kejahatan ini dapat dilakukan oleh siapapun sepanjang barang tidak dikuasai pelaku secara melawan hukum. Dalam proses beracara, pelaku penggelapan akan ditangani di lingkungan Peradilan Umum, baik di Pengadilan Negeri sebagai pengadilan pertama dan Pengadilan Tinggi sebagai pengadilan tingkat banding.[5]

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa penggelapan yang diatur dalam ketentuan pasal 372 KUHP dapat dilakukan oleh setiap orang, sementara penggelapan yang diatur dalam UU Tipikor merupakan penggelapan yang hanya dapat dilakukan oleh pegawai negeri dalam jabatannya. Selain itu tindak pidana korupsi terbagi dalam 7 bentuk dimana penggelapan dalam jabatan hanya salah satu bentuk dari tindak pidana korupsi.

Dasar Hukum :

  • Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berada pada Buku Kedua tentang Kejahatan Bab XXIV tentang Penggelapan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 127 Tahun 1958, Tambahan Lembaga Negara Nomor 1660).
  • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 140 Tahun 1999, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3874).
  • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 134 Tahun 2001, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4150).
  • Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016

Referensi :

[1] M. Dani Pratama Huzaini, Memahami Kembali Delik Formil Pada Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor, https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt58b107c37432b/memahami-kembali-delik-formil-pada-pasal-2-dan-pasal-3-uu-tipikor/ (diakses 10 Maret 2021).
[2] Brian Lemuel Rachman, Tinjauan Hukum Atas Sanksi Tindak Pidana Korupsi Sebagai Kejahatan Luar Biasa di Indonesia, Lex Et Societaris, Volume VI-Nomor 2, April 2018, halaman 1.
[3] Normand Edwin Elnizar, Bingung Mau Berperkara? Mari Kenali Jenis-Jenis Pengadilan di Indonesia, https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5b4f09b41a4e1/bingung-mau-berperkara-mari-kenali-jenis-jenis-pengadilan-di-indonesia (diakses 10 Maret 2021).
[4] R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (Bogor:Politeia, 1995), halaman 258.
[5] Normand Edwin Elnizar, supra note nomor 3.

Baca Juga

Perjanjian Perkawinan: Penting atau Tidak?

Perjanjian Perkawinan: Penting atau Tidak?

Narasumber: Lidwina Larasati Himawan, S.H., M.H. Notulen: Febri Patricia Margareth Simanjuntak Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) pada dasarnya tidak memberikan definisi atau arti dari perjanjian perkawinan. Akan...