Apakah Hak Cipta Perlu Didaftarkan?

Penulis: Josef Henokh Widodo

Hak cipta timbul dari hasil olah pikir manusia dalam bidang ilmu pengetahuan, kesenian, dan sastra.[1] Pengertian hak cipta telah diatur dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (selanjutnya disebut UUHC) yang menyebutkan bahwa:

“Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Berdasarkan pengertian di atas, dapat diketahui bahwa pelindungan hak cipta timbul secara otomatis sesaat setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata, dengan cara perlu dideklarasikan.

Menurut prinsip deklaratif, perlindungan hak cipta ditentukan oleh saat terbentuknya ciptaan, dalam hal ini tergantung pada bentuk ciptaan tersebut. Misalnya, jika ciptaan yang dibuat adalah suatu karya tulis, maka perlindungan karya tulis tersebut timbul secara otomatis pada saat karya tulis tersebut selesai dibuat dan dibaca oleh orang lain meskipun belum diterbitkan dalam bentuk buku ataupun jurnal.[2] Dengan demikian, suatu ciptaan dilahirkan oleh kreasi pencipta itu sendiri.[3]

Kreasi pencipta muncul dari adanya olah pikiran dan kreativitas dari si pencipta.[4] Suatu karya harus merupakan karya asli. Artinya, karya tersebut haruslah dihasilkan oleh orang yang mengakui karya tersebut sebagai karangan atau ciptaannya, serta tidak boleh hasil salinan dari karya lain.[5] Apabila si pencipta telah menerapkan tingkat pengetahuan, keahlian dan penilaian yang cukup tinggi dalam proses penciptaan karyanya, maka hal ini sudah dianggap cukup memenuhi sifat keaslian (originalitas) guna memperoleh perlindungan terhadap ciptaannya.[6] Adapun pengertian ciptaan telah diatur dalam Pasal 1 butir 3 UUHC yang menyebutkan bahwa:

“Ciptaan adalah setiap hasil karya cipta di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang dihasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang diekspresikan dalam bentuk nyata.”

Sejalan dengan pemaparan di atas, suatu hak cipta lahir bukan yang telah ada di luar aktivitas atau di luar hasil kreativitas manusia, melainkan harus lahir dari kreativitas manusia.[7] Selain itu, terdapat pengertian pemegang hak cipta yang telah diatur dalam Pasal 1 butir 4 UUHC yang menyebutkan bahwa:

“Pemegang Hak Cipta adalah Pencipta sebagai pemilik Hak Cipta, pihak yang menerima hak tersebut secara sah dari Pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut secara sah.”

Berdasarkan ketentuan di atas, pemegang hak cipta salah satunya adalah pencipta sebagai pemilik hak cipta.

Suatu ciptaan yang merupakan hasil dari pemikiran dan kreativitas inilah yang sepenuhnya menjadi milik pencipta, seperti halnya pengertian pencipta yang telah diatur dalam Pasal 1 butir 2 UUHC yang menyebutkan bahwa:

“Pencipta adalah seorang atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama menghasilkan suatu ciptaan yang bersifat khas dan pribadi.”

Sejalan dengan ketentuan di atas, seorang pencipta harus benar-benar dapat membuktikan dirinya menciptakan ciptaannya sendiri seperti halnya yang diatur dalam Pasal 31 UUHC yang menyebutkan bahwa:

“Kecuali terbukti sebaliknya, yang dianggap sebagai pencipta, yaitu Orang yang namanya:

  1. disebut dalam Ciptaan;
  2. dinyatakan sebagai Pencipta pada suatu Ciptaan;
  3.  disebutkan dalam surat pencatatan Ciptaan; dan/atau
  4. tercantum dalam daftar umum Ciptaan sebagai pencipta.”

Ketentuan pasal di atas mencerminkan prinsip deklaratif dalam hak cipta, artinya seseorang sudah dapat dikatakan sebagai pencipta tanpa harus mendaftarkan hak ciptanya sebagaimana tercantum dalam Pasal 31 huruf a dan b UUHC. Hal ini sejalan dengan pendapat Risa Amrikasari, S.S., M.H., seorang Konsultan Hak Kekayaan Intelektual yang menyatakan bahwa apabila melihat pada prinsip dasar lahirnya hak cipta, maka rujukannya bukanlah pada pendaftaran (yang saat ini dalam UUHC istilahnya disebut dengan pencatatan).[8] Perlu diluruskan bahwa dalam UUHC, frasa yang digunakan bukanlah pendaftaran, melainkan pencatatan.[9]

Syarat untuk mendapatkan hak cipta dan hak terkait tidak berdasarkan pencatatan ciptaan dan produk hak terkait. Hal ini diatur dalam Pasal 64 ayat (2) UUHC yang menyebutkan bahwa:

“Pencatatan Ciptaan dan produk Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan merupakan syarat untuk mendapatkan Hak Cipta dan Hak Terkait.”

Sesuai dengan prinsip dasar lahir dan timbulnya hak cipta, syarat untuk mendapatkan hak cipta tidak merujuk pada pencatatan, namun hak cipta telah lahir secara otomatis pada saat suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata, diumumkan dan dapat diperbanyak.[10] Dalam penjelasan Pasal 64 ayat (2) UUHC disebutkan juga bahwa:

“Pencatatan Ciptaan dan produk Hak Terkait bukan merupakan suatu keharusan bagi Pencipta, Pemegang Hak Cipta atau pemilik Hak Terkait. Perlindungan suatu Ciptaan dimulai sejak Ciptaan itu ada atau terwujud dan bukan karena pencatatan. Hal ini berarti suatu Ciptaan baik yang tercatat maupun tidak tercatat tetap dilindungi.”

Berdasarkan penjelasan di atas, perlindungan terhadap hak cipta tidak bergantung pada apakah suatu ciptaan tersebut telah dicatatkan atau tidak. Perlindungan hak cipta memang timbul dan lahir secara otomatis.[11] Akan tetapi, apabila terjadi suatu perselisihan atau persengketaan klaim antara dua belah pihak yang menyatakan bahwa masing-masing dari mereka itu adalah pemegang hak cipta atas suatu ciptaan, maka pencatatan atas ciptaan yang dilakukan oleh pencipta atau pemegang hak cipta atau kuasanya dapat menjadi suatu alat bukti yang lebih kuat di pengadilan dibanding dengan ciptaan yang tidak dicatatkan.[12] Dengan demikian, pencatatan hak cipta diperlukan untuk memperkuat perlindungan hak cipta.

Dalam perkembangannya, terjadinya suatu perselisihan atau persengketaan klaim hak cipta di Indonesia tidak hanya melibatkan pencipta yang berasal dari negara Indonesia saja, melainkan juga melibatkan pencipta dari negara lain.[13] Sepertinya yang sudah dijelaskan, lahirnya hak cipta menurut hukum hak cipta di Indonesia adalah timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif sebagaimana diatur dalam Pasal 1 butir 1 UUHC. Demikian pula terdapat konvensi yang menetapkan standar internasional untuk perlindungan hak cipta, yaitu Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works (selanjutnya disebut Berne Convention). Pengaturan mengenai perlindungan hak cipta yang lahir secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Berne Convention yang menyebutkan bahwa:

“It shall, however, be a matter for legislation in the countries of the Union to prescribe that works in general or any specified categories of works shall not be protected unless they have been fixed in some material form.”

Berdasarkan pemaparan di atas, perlindungan hak cipta yang lahir secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif ini sudah menjadi ketentuan yang diakui lingkup internasional. Oleh karena itu, meskipun seseorang berada di negara yang berbeda, selama negara tersebut termasuk dalam negara penandatangan Berne Convention, maka ketentuan tersebut berlaku juga di negara-negara tersebut.[14] Negara Indonesia sendiri sudah meratifikasi Berne Convention melalui Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pengesahan Berne Convention For The Protection Of Literary And Artistic Works.[15]

Hukum hak cipta bersifat territorial dan berlaku dalam skala nasional, sehingga apabila terjadi suatu perselisihan atau persengketaan klaim hak cipta yang melibatkan pencipta dari negara lain, maka perselisihan atau persengketaan klaim hak cipta harus dibawa ke pengadilan negara pelaku pelanggaran hak cipta. Dengan demikian, pelaku pelanggaran hak cipta yang berasal dari negara lain tidak dituntut berdasarkan UUHC, melainkan berdasarkan ketentuan hukum hak cipta yurisdiksi negara pelaku pelanggaran hak cipta tersebut.[16]

Pencatatan hak cipta itu sendiri diselenggarakan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut Menkumham).[17] Terdapat prosedur pencatatan hak cipta yang telah diatur dalam Pasal 66 ayat (1) UUHC yang menyebutkan bahwa:

“Pencatatan Ciptaan dan produk Hak Terkait diajukan dengan Permohonan secara tertulis dalam bahasa Indonesia oleh Pencipta, Pemegang Hak Cipta, pemilik Hak Terkait, atau Kuasanya kepada Menteri.”

Dalam melakukan pencatatan hak cipta, pencipta perlu mengajukan permohonan tertulis dalam bahasa Indonesia kepada Menkumham. Lalu, dalam Pasal 66 ayat (2) UUHC menyebutkan bahwa:

“Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara elektronik dan/atau non elektronik dengan:

  1. menyertakan contoh Ciptaan, produk Hak Terkait, atau penggantinya;
  2. melampirkan surat pernyataan kepemilikan Ciptaan dan Hak Terkait; dan
  3. membayar biaya.”

Pencipta dapat mengajukan permohonan tersebut secara secara elektronik maupun non elektronik dengan syarat menyertakan contoh ciptaan atau pengganti ciptaan. Pengganti ciptaan merupakan contoh ciptaan yang dilampirkan karena suatu ciptaan tersebut secara teknis tidak mungkin untuk dilampirkan dalam permohonan, misalnya patung yang berukuran besar diganti dengan miniatur atau fotonya. Lalu, pencipta melampirkan surat pernyataan kepemilikan ciptaan, yaitu pernyataan kepemilikan hak cipta yang menyatakan bahwa ciptaan tersebut memang benar milik pencipta itu sendiri. Selanjutnya, pencipta harus membayar biaya permohonan pencatatan hak cipta kepada Menkumham. Dengan demikian, pencatatan hak cipta berfungsi sebagai pengakuan resmi oleh Menkumham seolah-olah yang bersangkutan sebagai pencipta. Pencatatan atas ciptaan juga menjadi suatu bahan pertimbangan bagi hakim untuk menentukan siapa pemegang hak cipta yang sah.[18]

            Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa perlindungan hak cipta lahir secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan di peraturan perundang-undangan. Pencatatan hak cipta bukan suatu kewajiban bagi pencipta atau pemegang hak cipta atau kuasanya karena baik ciptaan yang sudah tercatat maupun tidak tercatat tetap mendapatkan perlindungan. Pencatatan hak cipta dapat dilakukan jika dirasakan penting bagi pencipta dan dapat dijadikan sebagai alat bukti yang lebih kuat di pengadilan apabila terjadi suatu perselisihan atau persengketaan klaim hak cipta.

Dasar Hukum:

  • Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta (Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 266, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5599).

Referensi:

[1] Khwarizmi Maulana Simatupang, Tinjauan Yuridis Perlindungan Hak Cipta dalam Ranah Digital (Judicial Review of Copyright Protection in Digital Sector), Ilmiah Kebijakan Hukum, Volume 15-Nomor 1, Maret 2021, halaman 70.

[2] Risa Amrikasari, Adakah Akibat Hukum Jika Tidak Mencatatkan Ciptaan, https://www.hukumonline.com/klinik/a/adakah-akibat-hukum-jika-tidak-mencatatkan-ciptaan-lt5bf6297e50d2b (diakses pada 11 November 2022, pukul 18.37 WIB).

[3] Khwarizmi Maulana Simatupang, supra note nomor 1, halaman 70.

[4] Ibid.

[5] Natasha Alwi, Skripsi: Penerapan Prinsip Originalitas Dalam Melindungi Karya Cipta Desain Visual Menurut Undang-Undang Hak Cipta No. 28 Tahun 2014 (Kasus Tokyo 2020 VS Theatre Deliege dan Kasus ITS VS Inkom The Snab), (Malang: Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, 2018), halaman 28.

[6] Ibid.

[7] Khwarizmi Maulana Simatupang, supra note nomor 1, halaman 70.

[8] Letezia Tobing, Pelanggaran Hak Cipta Terhadap Ciptaan yang Belum Didaftarkan, https://www.hukumonline.com/klinik/a/pelanggaran-hak-cipta-terhadap-ciptaan-yang-belum-didaftarkan-lt561be135c587a#_ftn2 (diakses pada 15 Maret 2023, pukul 03.11 WIB).

[9] Abi Jam’an Kurnia, Benarkah Pencipta Tidak Perlu Mencatatkan Ciptaannya?, https://www.hukumonline.com/klinik/a/benarkah-pencipta-tidak-perlu-mencatatkan-ciptaannya-cl2763#_ftn4 (diakses pada 11 November 2022, pukul 18.50 WIB).

[10] Letezia Tobing, supra note nomor 8.

[11] Ibid.

[12] Abi Jam’an Kurnia, supra note nomor 9.

[13] Universitas Jember, Perlindungan Hukum Pencipta Lagu Aisyah Asal Malaysia Atas Tindakan Strike Konten Youtube Oleh Musisi Indonesia, Journal of Private and Economic Law, Volume 2-Nomor 1, Mei 2022, halaman 87.

[14] Risa Amrikasari, Penyelesaian Pelanggaran Hak Cipta dalam Platform Digital Lintas Negara, https://www.hukumonline.com/klinik/a/penyelesaian-pelanggaran-hak-cipta-dalam-platform-digital-lintas-negara-lt5c32dc6def6d2#! (diakses pada 15 Maret 2023, pukul 03.34 WIB).

[15] Oksidelfa Yanto, Konvensi Bern dan Perlindungan Hak Cipta, Jurnal Surya Kencana Dua: Dinamika Masalah Hukum dan Keadilan, Volume 6-Nomor 1, Maret 2016, halaman 116.

[16] Risa Amrikasari, supra note nomor 13.

[17] Tim Hukumonline, Dasar Hukum Cipta yang Berlaku Saat Ini, https://www.hukumonline.com/berita/a/dasar-hukum-hak-cipta-lt62b9143a498ff?page=all#! (diakses pada 9 Maret 2023, pukul 08.17 WIB).

[18] Abi Jam’an Kurnia, supra note nomor 9.

Baca Juga

Perjanjian Perkawinan: Penting atau Tidak?

Perjanjian Perkawinan: Penting atau Tidak?

Narasumber: Lidwina Larasati Himawan, S.H., M.H. Notulen: Febri Patricia Margareth Simanjuntak Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) pada dasarnya tidak memberikan definisi atau arti dari perjanjian perkawinan. Akan...