Home / Uncategorized / Apa itu Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang?

Apa itu Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang?

Penulis: Dave Bonifacio

Dewasa ini, ketidakmampuan untuk membayar utang dan kebangkrutan merupakan suatu persoalan yang tidak jarang terjadi, terutama di kalangan para pengusaha. Sebagai contoh, pada tahun 2017 terdapat sekurang-kurangnya 8 (delapan) perusahaan Indonesia yang dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat karena ketidakmampuan mereka untuk membayar utang-utang yang telah jatuh tempo.[1] Dampak atas putusan pailit terhadap perusahaan-perusahaan tersebut tidak hanya dirasakan oleh para pengusaha, namun juga oleh pihak-pihak lain yang bersangkutan atau yang disebut sebagai para stakeholder seperti karyawan, konsumen, supplier, masyarakat serta Kreditur.[2] Akan tetapi, Debitur atau pelaku usaha yang tidak mampu membayar utang juga dapat mengajukan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) sebagai alternatif penyelesaian utang. Lantas, apa itu kepailitan dan PKPU berdasarkan peraturan perundang-undangan Indonesia?

 Definisi kepailitan dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU KPKPU), yaitu sita umum atas semua kekayaan Debitur Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas. Selain itu, berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UU KPKPU, pelaku usaha atau Debitur yang tidak mampu membayar utang dapat dikenakan putusan pailit oleh pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas peromohonan satu atau lebih Krediturnya. Adapun syarat kepailitan dapat ditemukan dalam Pasal dan ayat yang sama mengatakan bahwa:

“Debitur yang mempunyai dua atau lebih Kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih Krediturnya.”

Dari Pasal 2 ayat (1) UU KPKPU tersebut, dapat terlihat bahwa syarat-syarat untuk dinyatakan pailit secara normatif hanyalah 3 (tiga), yaitu adanya utang yang tidak mampu dibayar Debitur, terdapat lebih dari 1 (satu) orang Kreditur dan salah satu piutang di antara para Kreditur telah jatuh tempo.[3] Selain itu, masih dalam pasal yang sama dijelaskan bahwa pihak-pihak yang dapat mengajukan kepailitan adalah: 1) Debitur sendiri, 2) seorang Kreditur, 3) jaksa atau penuntut umum, 4) Bank Indonesia, 5) Badan Pengawas Pasar Modal, dan 6) Menteri Keuangan.[4] Namun, akibat hukum dari putusan pailit berdasarkan Pasal 24 UU KPKPU adalah bahwa Debitur demi hukum akan kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus kekayaannya, termasuk harta pailit. Selain itu, putusan pailit mengakibatkan Debitur dianggap tidak cakap hukum, sehingga Debitur tidak dapat melakukan perbuatan hukum, menguasai maupun mengurus harta kekayaannya.[5]

Serupa dengan kepailitan, PKPU juga merupakan upaya bagi Debitur untuk melunaskan utang-utangnya. PKPU berdasarkan Pasal 222 UU KPKPU diajukan oleh Debitur yang mempunyai lebih dari 1 (satu) Kreditur atau oleh Kreditur. Akan tetapi, perbedaan utamanya adalah bahwa dalam PKPU, masih terdapat kesempatan bagi Debitur untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran baik sebagian atau seluruh utang kepada Kreditur apabila Debitur tidak dapat atau memperkirakan bahwa ia tidak dapat melanjutkan pembayaran utang-utangnya yang sudah jatuh tempo.[6] Adapun salah satu bentuk rencana perdamaian yang kerap kali digunakan dalam rangka PKPU adalah restrukturisasi utang.[7] Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa PKPU merupakan upaya bagi Debitur dan Kreditur untuk menyepakati penyelesaian utang-piutang di antara mereka sebelum upaya terakhir berupa kepailitan dijatuhkan oleh pengadilan.[8]

Dasar Hukum:

  • Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 131 Tambahan Lembaran Negara Nomor 4443).

Referensi:

[1] Delana Pradhita San, Ini Daftar Perusahaan Yang Pailit Sepanjang 2017, https://kabar24.bisnis.com/read/20171228/16/721762/ini-daftar-perusahaan-yang-pailit-sepanjang-2017 (diakses pada tanggal 2 Oktober 2022).

[2] Riesta Devi Kumalasari, Stakeholder dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, https://binus.ac.id/malang/2018/10/stakeholder-dan-tanggung-jawab-sosial-perusahaan/#:~:text=Stakeholder%20adalah%20pihak%20pemangku%20kepentingan,stakeholder%20internal%20dan%20stakeholder%20eksternal. (diakses pada tanggal 2 Oktober 2022).

[3] Niru Anita Sinaga dan Nunuk Sulisrudatin, Hukum Kepailitan dan Permasalahnnya di Indonesia, Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara, Volume 7-Nomor 1, September 2016, halaman 164.

[4] Ibid.

[5] Elviana Sagala, Efektivitas Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Untuk Menghindarkan Debitur dari Pailit, Jurnal Ilmiah “Advokasi”, Volume 3-Nomor 1, Maret 2015, Halaman 38.

[6] Rai Mantili dan Putu Eka Trisna Dewi, Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Terkait Penyelesaian Utang Piutang dalam Kepailitan, Jurnal Aktual Justice, Volume 6-Nomor 1, Juni 2021, halaman 2.

[7] Ibid. halaman 12.

[8] Ibid., halaman 8.