Alat Bukti Elektronik dalam Hukum Acara Perdata
Penulis: Feliks Gerald Ferguson Purba
Pembuktian merupakan proses bagaimana alat-alat bukti dipergunakan, diajukan ataupun dipertahankan dalam hukum acara yang berlaku.[1] Tujuan pembuktian adalah untuk mengambil putusan yang bersifat definitif, pasti, tidak meragukan dan memiliki akibat hukum.[2] Membuktikan adalah memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.[3] Dalam hal membuktikan suatu peristiwa, cara yang dapat digunakan adalah menggunakan alat bukti. Alat bukti adalah sesuatu untuk meyakinkan akan kebenaran suatu dalil atau pendirian.[4]
Pada saat ini, perkembangan teknologi dan informasi membuat permasalahan hukum juga semakin beragam terutama dalam transaksi secara elektronik. Salah satu permasalahan hukum yang muncul adalah mengenai sah atau tidaknya alat bukti elektronik yang dilampirkan penggugat atau tergugat dalam hukum acara perdata serta kekuatan pembuktian alat bukti elektronik tersebut.
Alat bukti dalam hukum acara perdata diatur dalam Pasal 164, 153, 154 Herzien Inlandsch Reglement (HIR) dan Pasal 284, 180, 181 Rechtreglement voor de Buitengewesten (RBG).[5] Dalam HIR dan RBG tidak mengatur secara langsung atau mengklasifikasi alat bukti elektronik sebagai salah satu alat bukti di muka pengadilan. Alat bukti elektronik kemudian diatur secara khusus dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut UU ITE).[6] Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU ITE menyatakan sebagai berikut:
“(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.”
“(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.”
Dari penjelasan diatas, UU ITE telah secara eksplisit menentukan bahwa Informasi dan Dokumen Eletronik merupakan alat bukti yang sah dan memperluas alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang telah berlaku di Indonesia, sehingga dapat digunakan sebagai alat bukti di persidangan.[7] Untuk bisa menjadi alat bukti yang sah, Informasi dan Dokumen Elektronik harus memenuhi syarat formil dan syarat materil. Syarat formil tersebut diatur dalam Pasal 5 ayat (4) UU ITE sebagai berikut:
“Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:
a. surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan
b. surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam
bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.”
Syarat materil diatur dalam Pasal 6, Pasal 15, dan Pasal 16 UU ITE sebagai berikut:[8]
Pasal 6
“Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4) yang mensyaratkan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli, Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.”
Pasal 15
“(1) Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik harus menyelenggarakan Sistem Elektronik secara andal dan aman serta bertanggung jawab terhadap beroperasinya Sistem Elektronik sebagaimana mestinya.
(2) Penyelenggara Sistem Elektronik bertanggung jawab terhadap Penyelenggaraan Sistem Elektroniknya.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku dalam hal dapat dibuktikan terjadinya keadaan memaksa, kesalahan, dan/atau kelalaian pihak pengguna Sistem Elektronik.”
Pasal 16
“Sepanjang tidak ditentukan lain oleh undang-undang tersendiri, setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib mengoperasikan Sistem Elektronik yang memenuhi persyaratan minimum sebagai berikut:
a. dapat menampilkan kembali Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik secara utuh sesuai dengan masa retensi yang ditetapkan dengan Peraturan Perundang-undangan;
b. dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan, dan keteraksesan Informasi Elektronik dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut;
c. dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut;
d. dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan dengan bahasa, informasi, atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan dengan Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut; dan
e. memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan, kejelasan, dan kebertanggungjawaban prosedur atau petunjuk.
(2) Ketentuan lebih lanjut tentang Penyelenggaraan Sistem Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.”
Dapat disimpulkan bahwa pembuktian alat bukti elektronik diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU ITE. Kemudian alat bukti tersebut harus memenuhi syarat materil dan formil supaya menjadi alat bukti yang sah. Alat bukti elektronik dapat digunakan dalam hukum acara perdata berdasarkan Pasal 5 ayat (2) UU ITE.
Dasar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Tahun 2016 Nomor 251).
- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Tahun 2008 Nomor 58).
- Herzien Inlandsch Reglement (Staatsblad 1848 No. 16 dan Staatsblad 1941 No. 44).
- Rechtreglement voor de Buitengewesten (Staatsblad 1927 No. 227).
Referensi:
[1] Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1991), halaman 7.
[2] Sudikno Mertukusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia Edisi Revisi, (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2017), halaman 144.
[3] Ibid.
[4] Subekti, Kamus Hukum, Pradnya Paramita (Jakarta: Pradnya Paramita, 2003), halaman 17.
[5] Efa Laela Fakhriah, Perkembangan Alat Bukti dalam Penyelesaian Perkara Perdata di Pengadilan Menuju Pembaharuan Hukum Acara Perdata, https://jhaper.org/index.php/JHAPER/article/view/16/22 , (diakses 13 Agustus 2021).
[6] Riki Perdana Raya Waruwu, Eksistensi Dokumen Elektronik di Persidangan Perdata, https://www.mahkamahagung.go.id/id/artikel/3048/eksistensi-dokumen-elektronik-di-persidangan-perdata , (diakses 21 Juli 2021).
[7] Dewi Asimah, Menjawab Kendala Pembuktian Dalam Penerapan Alat Bukti Eletronik, https://jurnalhukumperatun.mahkamahagung.go.id/index.php/peratun/article/download/159/34/ (diakses 1 September 2021).
[8] Josua Sitompul, Syarat dan Kekuatan Hukum Alat Bukti Elektronik, https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl5461/syarat-dan-kekuatan-hukum-alat-bukti-elektronik, (diakses 21 Juli 2021).