Alat Bukti Apa yang Sah Dalam Hukum Acara Administrasi?
Penulis: Raymond Candela
Pembuktian dalam hukum acara administrasi merupakan proses penggunaan, pengajuan, mempertahankan alat bukti.[1] Secara umum tujuan dari pembuktian adalah agar hakim dapat membuat putusan yang bersifat definitif dan pasti.[2] Lebih jauh, tujuan dari pembuktian adalah agar para pihak dapat meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.[3] Para pihak yang bersengketa meyakinkan hakim terhadap dalil-dalil yang dikemukakan menggunakan alat bukti. Para pihak yang bersengketa meyakinkan hakim terhadap dalil-dalil yang dikemukakan menggunakan alat bukti. Selanjutnya, alat bukti dalam hukum acara administrasi menganut sistem pembuktian bebas terbatas.[4] Oleh karena itu, hadirnya tulisan ini akan memberikan panduan bagi masyarakat dalam mengetahui alat bukti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut UU PTUN).
Sebelum mengetahui alat bukti apa saja yang sah dalam hukum acara administrasi, perlu diketahui terlebih dahulu mengenai arti dari sistem pembuktian bebas terbatas. Maksud dari sistem bebas adalah hakim bebas untuk menentukan beban pembuktian, memiliki kebebasan untuk menentukan fakta yang akan digunakan, dan kebebasan untuk menentukan penilaian dari hasil pembuktian.[5] Akan tetapi, alat bukti yang perlu dibuktikan dalam pengadilan terbatas pada alat bukti yang diatur dalam Pasal 100 ayat (1) UU PTUN.[6] Menurut Pasal 100 ayat (1) UU PTUN, alat bukti terdiri dari surat atau tulisan, keterangan ahli, keterangan saksi, pengakuan para pihak, dan pengetahuan hakim. Dalam pembuktian, hakim dapat menentukan hal yang harus dibuktikan, beban pembuktian serta penilaian pembuktian dan untuk sahnya pembuktian diperlukan minimal 2 (dua) alat bukti berdasarkan keyakinan hakim sebagaimana diatur dalam Pasal 105 UU PTUN.
Surat atau Tulisan
Berdasarkan Pasal 101 UU PTUN, surat sebagai alat bukti terdiri dari 3 (tiga) jenis, yakni:
- Akta otentik adalah surat yang dibuat oleh pejabat umum dengan maksud untuk digunakan sebagai alat bukti mengenai suatu fakta yang tercantum di dalamnya sebagaimana diatur dalam Pasal 101 huruf a UU PTUN.
- Akta di bawah tangan adalah surat yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya sebagaimana diatur dalam Pasal 101 huruf b UU PTUN.
- Surat-surat lainnya yang bukan akta adalah jenis alat bukti berupa surat yang terakhir sebagaimana dipaparkan dalam Pasal 101 huruf c UU PTUN adalah surat-surat lainnya yang bukan akta, seperti kuitansi, laporan, dan surat penawaran.
Keterangan Ahli
Alat bukti berikutnya yang dikenal dalam hukum acara administrasi adalah keterangan ahli. Menurut Pasal 102 ayat (1) UU PTUN, keterangan ahli adalah pendapat orang yang diberikan dalam persidangan di bawah sumpah mengenai suatu hal yang diketahui menurut pengalaman dan pengetahuannya. Mengingat ketentuan dalam Pasal 102 ayat (1) UU PTUN, maka dapat dipahami bahwa seorang ahli tidak perlu mengetahui fakta atau kejadian dalam sengketa, melainkan cukup memberikan keterangan berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang diketahui. Keberadaan ahli dalam suatu persidangan dapat dihadirkan melalui permintaan kedua belah pihak atau salah satu pihak atau atas perintah hakim sebagaimana diatur dalam Pasal 103 ayat (1) UU PTUN. Sebagai ahli, menurut Pasal 103 ayat (2) UU PTUN seorang ahli dapat memberikan keterangan dengan cara lisan maupun melalui surat.
Keterangan Saksi
Menurut pengaturan pembuktian dalam UU PTUN, keterangan saksi juga merupakan bagian dari alat bukti. Keterangan saksi adalah pendapat orang yang diberikan dalam persidangan di bawah sumpah atas sesuatu yang berkenaan dengan hal yang dialami, dilihat, atau didengar oleh saksi sendiri sebagaimana diatur dalam Pasal 104 UU PTUN. Berbeda dengan keterangan ahli, saksi dalam memberikan keterangan harus tahu betul mengenai fakta dan kejadian yang menjadi perkara. Dalam perkembangannya, keterangan saksi sebagai alat bukti juga mengalami perkembangan, yang mana kini dalam hukum acara administrasi dikenal adanya keterangan saksi yang keterangannya diperoleh dari pihak ketiga atau dikenal dengan testimonium de auditu.[7] Menurut Indroharto selaku mantan Ketua Muda Peradilan Tata Usaha Negara, kedudukan testimonium de auditu dalam hukum acara administrasi seringkali mempunyai suatu nilai tertentu dalam proses penyelesaian sengketa tata usaha negara.[8] Sekalipun menjadi saksi merupakan suatu kewajiban, terdapat beberapa orang yang dapat mengundurkan diri ketika dimintakan untuk menjadi seorang saksi. Hal tersebut diatur lebih lanjut dalam Pasal 89 ayat (1) UU PTUN yang menyatakan bahwa saudara laki-laki dan perempuan, ipar laki-laki dan perempuan salah satu pihak dan setiap orang yang karena martabat, pekerjaan, atau jabatannya dijawibkan merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan martabat atau pekerjaan itu adalah orang yang dapat meminta pengunduran diri dari kewajiban untuk memberikan kesaksian.
Pengakuan Para Pihak
Alat bukti lainnya yang sah menurut UU PTUN adalah pengakuan para pihak. Pengakuan para pihak adalah suatu fakta yang diakui kebenarannya oleh pihak lawan di muka persidangan.[9] Pengakuan secara umum diartikan sebagai keterangan sepihak yang membenarkan peristiwa, hak, atau hubungan hukum yang diajukan oleh pihak lawan.[10] Contoh dari pengakuan para pihak adalah X mendalilkan bahwa Y menerima Keputusan Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut KTUN) tanggal 10 Februari 2023, kemudian Y menyatakan benar bahwa Y menerima KTUN tersebut tanggal 10 Februari 2023. Berdasarkan contoh tersebut dapat dimengerti bahwa dalil yang tidak disangkal akan dianggap sebagai pengakuan salah satu pihak. Walaupun para pihak telah memberikan pengakuan dalam persidangan, hakim tetap memiliki wewenang untuk meneliti lebih lanjut terhadap pengakuan yang telah diberikan oleh para pihak. Hal ini cukup berbeda dengan konsep pengakuan dalam hukum acara perdata, yang mana ketika terdapat pengakuan dari para pihak, maka sengketa perdata dianggap selesai dan hakim tidak perlu meneliti lebih lanjut.[11] Menurut Pasal 105 UU PTUN, pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali kecuali terdapat alasan yang kuat dan dapat diterima oleh hakim.
Pengetahuan Hakim
Alat bukti yang terakhir adalah pengetahuan hakim yang mempunyai definisi yakni hal yang diketahui dan diyakini kebenarannya oleh hakim sebagaimana diatur dalam 106 UU PTUN. Pengetahuan hakim diperoleh selama pemeriksaan sidang di pengadilan.[12] Selain pemeriksaan dalam sidang pengadilan, pada praktiknya hakim dapat membangun keyakinannya dengan melalui mekanisme pemeriksaan setempat. Tujuan dari hakim melakukan pemeriksaan setempat adalah untuk memastikan kebenaran fakta yang disampaikan para pihak saat proses di pengadilan.[13] Contoh dari pemeriksaan setempat adalah ketika hakim ketua, hakim anggota serta panitera melakukan pemeriksaan terhadap gedung yang dinyatakan telah melanggar garis sempadan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa hukum acara administrasi menganut sistem pembuktian bebas terbatas. Selain itu, melalui keberadaan Pasal 100 ayat (1) UU PTUN dapat diketahui pula bahwa terdapat 5 (lima) jenis alat bukti yang sah yaitu surat atau tulisan, keterangan ahli, keterangan saksi, pengakuan para pihak, dan pengetahuan hakim. Dalam praktiknya, 5 (lima) alat bukti yang dikenal dalam Pasal 100 ayat (1) UU PTUN juga mengalami perkembangan, seperti dikenalnya testimonium de auditu, hingga pemeriksaaan setempat sebagai instrumen untuk membangun pengetahuan hakim.
Dasar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3344).
Referensi:
[1] Prilla Geonestri Ramlan, Mengenal Jenis Alat Bukti dalam Hukum Acara Perdata, https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-lahat/baca-artikel/15189/Mengenal-Jenis-Alat-Bukti-dalam-Hukum-Acara-Perdata.html/.
[2] Id.
[3] Subekti, Hukum Pembuktian 1 (PT Pradnya Paramita, Jakarta, 2001).
[4] Umar Dani, Konsep Dasar dan Prinsip Prinsip Peradilan Tata Usaha Negara 120 (Rajawali Pers, Depok, 2022).
[5] Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara 172 (Sinar Grafika, Jakarta, 2013).
[6] Id., pada 178.
[7] Id., pada 182.
[8] Id., pada 182.
[9] Id., pada 185.
[10] Id., pada 185.
[11] Id.
[12] Id.
[13] Siti Soetami, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara 45 ( PT Refika Aditama, Bandung, 2009).