Home / Uncategorized / Alasan Perceraian Berdasarkan PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam

Alasan Perceraian Berdasarkan PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam

Penulis: Thomas Chandra

Perkawinan adalah suatu aspek hukum dan menyangkut perbuatan hukum. Dapat diketahui bahwa tidak semua perkawinan dapat berlangsung abadi.[1] Apabila meninjau pada Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) dan Pasal 115 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1001 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut KHI), maka dapat dipahami bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan[2] setelah mediasi di antara kedua pihak yang diusahakan oleh Pengadilan gagal.[3]

Perceraian yang dilakukan di depan sidang Pengadilan, apabila sepasang suami istri yang mengajukan perceraian tersebut sudah tidak dapat memperbaiki kembali perkawinannya melalui mediasi, dan perceraian merupakan upaya terakhir.[4] Penjelasan tersebut sesuai dengan ketentuan yang terdapat pada Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan, yang mengatur bahwa:

“Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.”

Tampak bahwa dengan adanya ketentuan dalam Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan tersebut menyebabkan dalam pengajuan perceraian, harus terdapat alasan-alasan yang kuat dan cukup, sehingga tampak bahwa sebenarnya proses perceraian sulit untuk dilakukan.

Alasan-alasan perceraian dalam UU Perkawinan tidak diatur secara limitative. Ketentuan mengenai alasan-alasan perceraian secara limitatif diatur pada Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut PP 9/1975) dan KHI. Pada Pasal 19 PP 9/1975 mengatur bahwa:

“Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:

  1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
  2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
  3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
  4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;
  5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
  6. Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.”

Selanjutnya, Pasal 116 KHI secara limitatif juga mengatur alasan-alasan perceraian, yaitu:

“Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:

  1. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
  2. salah satu pihak mninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
  3. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
  4. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;
  5. salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri;
  6. antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;
  7. Suami melanggar taklik talak;
  8. peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.”

Berdasarkan paparan di atas, dapat dipahami bahwa sepasang suami istri yang mengajukan perceraian di depan sidang Pengadilan harus memenuhi alasan-alasan yang terdapat dalam PP 9/1975 dan KHI (bagi yang beragama Islam). Hal ini tentunya menjadi penting agar suami ataupun istri tidak dengan mudah berpikir untuk bercerai, terlebih apabila sebenarnya ketika niat untuk bercerai tersebut muncul belum ada alasan yang cukup untuk itu. Perceraian sekalipun diperkenankan untuk dilakukan, namun sangat penting untuk mempertimbangkan alasan-alasan yang menguatkan, sebab dampak yang nanti akan terjadi dalam perceraian tidak hanya dirasakan oleh mereka yang bercerai. Akan tetapi terdapat kemungkinan orang lain juga terdampak dari perceraian tersebut, misalnya psikologis anak yang bisa menjadi terganggu akibat perceraian, masalah pengasuhan atau hak wali anak yang kerap menimbulkan pertikaian baru karena adanya perebutan hak asuh anak, dan adanya permasalahan pembagian harta bersama antara suami dan istri. Oleh karena itu, penting untuk dapat berpikir dengan matang dan saksama sebelum melakukan perceraian. Perceraian juga sebaiknya dilakukan di depan sidang pengadilan agar status perceraian menjadi sah sehingga seluruh akibat hukum dari perceraian dapat ditetapkan secara jelas dan tegas oleh Pengadilan.[5]

Dasar Hukum:

  • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019).
  • Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1975, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3050 Tahun 1975).
  • Kompilasi Hukum Islam, Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2000.

Referensi:

[1] Dahwadin, dkk., Hakikat Perceraian Berdasarkan Ketentuan Hukum Indonesia, Yudisia: Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam, Volume 11-Nomor 1, Juni 2020, halaman 92.

[2] Pengadilan Negeri bagi yang bukan beragama Islam dan Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam.

[3] Dimas Hutomo, Bisakah Bercerai Karena Suami Selalu Membanting Pintu?, https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5d26d5d860dd3/bisakah-bercerai-karena-suami-selalu-membanting-pintu/ (diakses pada 12 Oktober 2021, pukul 16.34 WIB).

[4] Ibid.

[5] Vivi Hayati, Dampak Yuridis Perceraian Di Luar Pengadilan, Jurnal Hukum Samudra Keadilan, Volume 10-Nomor 2, Desember 2015, halaman 226.