Home / Uncategorized / Penerapan Pemaafan Hakim dalam Pembaharuan Hukum Pidana

Penerapan Pemaafan Hakim dalam Pembaharuan Hukum Pidana

Narasumber: Afsha An Nisa Fresticia – Relawan LBH “Pengayoman” UNPAR

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP), terdapat tiga bentuk putusan yang dapat diputuskan oleh Majelis Hakim yaitu: (1) Pemidanaan atau penjatuhan pidana (veroordeling tot enigerlei sanctie); (2) Putusan bebas (vrij spraak); dan (3) Putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van recht vervolging).[1] Akan tetapi, ketiga bentuk putusan tersebut belum dapat menjamin kepastian hukum karena banyaknya terdakwa yang telah memenuhi pembuktian, namun jika dijatuhkan suatu pemidanaan akan bertentangan dengan rasa keadilan.[2] Misalnya, kasus Nenek Minah yang mencuri buah kakao sebanyak 3 biji dijatuhi putusan pidana penjara selama 1 bulan 15 Hari dengan masa percobaan selama 3 bulan dan Nenek Asyani yang mencuri 7 buah batang kayu jati dijatuhi hukuman penjara satu tahun dengan masa percobaan 15 bulan serta denda Rp 500 juta dengan subsider 1 hari kurungan. Dalam kasus-kasus ini, masyarakat menilai bahwa tindakan yang dilakukan oleh Nenek Minah dan Nenek Asyani tidak sebanding dengan putusan yang diberikan atau untuk sampai dijatuhi hukuman, namun di sisi lain hakim bertindak atas hukum yang berlaku, di mana tindakan yang dilakukan oleh Nenek Minah dan Nenek Asiani adalah tindak pidana dan harus diputus sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang mengatur mengenai tindakan tersebut dan putusan yang dapat diberlakukan oleh hakim, yang mana pemaafan hakim belum menjadi salah satu putusan yang dapat dilakukan oleh hakim. Dengan demikian, muncul suatu gagasan untuk menerapkan pemaafan hakim dalam pembaharuan hukum pidana agar Majelis Hakim dapat menjatuhkan suatu putusan tanpa pemidanaan (non imposing of a penalty) sebagai upaya pemenuhan rasa keadilan.

Pemaafan hakim (rechterlijk pardon) adalah kewenangan yang diberikan kepada hakim untuk memberi maaf pada seseorang yang bersalah melakukan tindak pidana dengan mempertimbangkan ringannya perbuatan, keadaan pribadi pelaku, atau keadaan pada waktu tindak pidana dilakukan serta aspek keadilan dan kemanusiaan, yang bertujuan untuk meniadakan pelaksanaan putusan pemidanaan yang apabila dilaksanakan akan menimbulkan ketidakadilan.[3] Menurut P.A.F Lamintang, penerapan pemaafan hakim bertujuan sebagai upaya koreksi terhadap keberlakuan asas legalitas secara ketat dan sebagai alternatif pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek.[4] Asas legalitas menjunjung tinggi kepastian hukum, yang mana selaras dengan apa yang diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, yaitu Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat). Sebagai negara hukum, kepastian hukum merupakan suatu hal yang dijunjung tinggi karena segala tindakan yang dilakukan harus didasarkan dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.[5]  Pemaafan hakim dapat menjadi salah satu konsep yang diterapkan dalam pembaharuan hukum pidana di Indonesia, khususnya dalam perubahan bentuk kepastian hukum dari kaku menjadi fleksibel.[6] Selain itu, penerapan pemaafan hakim dalam pembaharuan hukum pidana juga dapat digunakan untuk mengubah hukum pidana yang merupakan pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan ke arah keadilan restoratif (restorative justice) yang berfokus pada pemulihan kembali pada keadaan semula.[7]

Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), menyatakan bahwa keadilan merupakan tujuan dari pembentukan Negara Indonesia. Butir c bagian menimbang pada KUHAP menyebutkan bahwa salah satu tujuan pembangunan hukum nasional dalam bidang hukum acara pidana adalah keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia sesuai dengan UUD 1945. Penerapan pemaafan hakim dapat menjadi upaya pemenuhan rasa keadilan apabila penerapan suatu pidana akan bertentangan dengan keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia. Pentingnya konsep ini dalam pembaharuan pidana dapat menghindari ketidakadilan yang ditimbulkan dari ketatnya asas legalitas yang dianut dalam hukum pidana saat ini. Hingga saat ini belum terdapat peraturan perundang-undangan yang mengatur konsep pemaafan hakim secara eksplisit, namun apabila dikaitkan dengan rasa keadilan yang hendak dicapai oleh konsep ini, Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 menyatakan:

Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”.

 Berdasarkan pasal tersebut, secara implisit hakim dapat memberikan perlakuan khusus apabila dengan perlakuan khusus tersebut dapat dicapai suatu keadilan. Selain itu, diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disebut UU Kekuasaan Kehakiman) mengenai kewajiban hakim untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Adapun, terdapat beberapa permasalahan yang akan ditemui dalam penerapan konsep pemaafan hakim. Salah satu asas fundamental yang dianut dalam hukum pidana adalah asas legalitas yang dimuat dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut sebagai KUHP) dan Pasal 3 KUHAP. Pada dasarnya, asas ini menyatakan bahwa semua tindakan penegak hukum harus didasarkan pada ketentuan hukum dan undang-undang atau dengan kata lain aparat penegak hukum tidak dibenarkan untuk bertindak diluar ketentuan hukum.[9] Dengan kata lain, asas legalitas berarti tiada pidana tanpa aturan sehingga tidak terdapat alasan bagi penegak hukum (dalam hal ini hakim) untuk tidak menjatuhkan pidana kepada terdakwa apabila perbuatannya melanggar apa yang telah diatur dalam undang-undang.[10] Asas legalitas bertujuan agar setiap orang terhindar dari subjektivitas dan kesewenang-wenangan penguasa, menciptakan kepastian hukum, dan melindungi hak asasi karena adanya penderitaan yang ditimbulkan dalam hukum pidana berupa pembatasan dan perampasan kemerdekaan.[11] Apabila hakim hendak memberikan pemaafan terhadap terdakwa, maka tindakan tersebut akan bertentangan dengan asas legalitas karena untuk saat ini, belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur bahwa pemaafan hakim dapat diterapkan atau dapat menjadi sebuah pilihan dalam putusan yang dapat dilakukan oleh hakim. Kemudian, dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 diatur mengenai hak atas kepastian hukum dan perlakuan yang sama dihadapan hukum. Berkaitan dengan asas legalitas, secara filosofis jaminan atas persamaan kedudukan warga negara di mata hukum merupakan tujuan dari asas legalitas.[12] Persamaan kedudukan di mata hukum berarti setiap orang mempunyai kedudukan yang sederajat dihadapan hukum (equal before the law), mempunyai kedudukan perlindungan yang sama oleh hukum (equal protection on the law) dan mendapat perlakuan keadilan yang sama dibawah hukum (equal justice under the law).[13] Penerapan pemaafan hakim apabila dikaitkan dengan equality before the law dapat menimbulkan masalah dalam hal adanya subjektivitas hakim dalam memutuskan suatu perkara, sehingga semua orang tidak lagi dianggap sama di mata hukum.

Adapun, pemaafan hakim sudah mulai akan diterapkan dalam Hukum Pidana. Dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana versi 4 Juli 2022 (selanjutnya disebut RKUHP), mengenai pemaafan hakim diatur dalam Pasal 54 ayat (2) RKUHP menyatakan:

“Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pelaku, atau keadaan pada waktu dilakukan Tindak Pidana serta yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau tidak mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan”

Dalam penjelasannya, disebutkan bahwa:

“Ketentuan pada ayat ini dikenal dengan asas rechterlijke pardon atau judicial pardon yang memberi kewenangan kepada hakim untuk memberi maaf pada seseorang yang bersalah melakukan Tindak Pidana yang sifatnya ringan. Pemberian maaf ini dicantumkan dalam putusan hakim dan tetap harus dinyatakan bahwa terdakwa terbukti melakukan Tindak Pidana yang didakwakan kepadanya.”

Pasal dalam RKUHP ini mengatur mengenai keberlakukan pemaafan hakim, yang mana hakim dapat memiliki kewenangan untuk memberikan maaf kepada seseorang yang melakukan perbuatan yang salah dan merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang. Kemudian, yang menjadi parameter untuk pertimbangan penerapan pemaafan hakim dalam pasal tersebut adalah ringannya perbuatan, keadaan pribadi pelaku atau keadaan pada waktu tindak pidana dilakukan, serta segi keadilan dan kemanusiaan.  

Hingga saat ini, pemaafan hakim belum diterapkan di Indonesia, meskipun sudah terdapat beberapa putusan dan pertimbangan hakim yang memiliki nilai permaafan.[14] Selain nilai pemaafan, dalam beberapa putusan juga hakim memberikan keringanan hukuman pada pelaku, misalnya pada kasus kasus Samhudi, guru SMP raden rahmat yang mencubit siswanya, yang pada kasusnya Hakim telah menjatuhkan pidana selama 3 bulan dan kasus Kolil dan Suyanto yang mencuri buah semangka di Kediri dijatuhi putusan kepada mereka masing-masing selama 15 hari dengan masa percobaan selama 1 bulan. Tindakan hakim yang memberikan putusan dengan nilai pemaafan atau pemberian keringanan namun belum sepenuhnya menerapkan pemaafan hakim disebabkan karena permaafan hakim belum dapat dilaksanakan selama belum ada landasan hukum dalam KUHP maupun KUHAP yang dapat mendasari hakim untuk menjatuhkan permaafan hakim.[15] Tidak adanya pedoman maupun asas hukum pidana yang lebih menitikberatkan pada perdamaian dan kemanusiaan dalam menghasilkan putusan pidana dapat mengganggu rasa keadilan dan menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap peradilan hukum di Indonesia.[16] Dengan itu, timbul kebutuhan atas pengaturan mengenai penerapan pemaafan hakim di Indonesia baik di KUHP maupun KUHAP agar seluruh sistem pemidanaan baik materil dan formil dapat menerapkan permaafan guna memenuhi rasa keadilan dalam sistem pemidanaannya.

Adapun, konsep pemaafan hakim ataupun non imposing of a penalty itu sudah mulai dikenal di beberapa negara, salah satunya adalah Perancis. Pada awalnya, pemaafan hanya dapat diberikan oleh lembaga eksekutif, namun atas rekomendasi dari Komisi Para Menteri Dewan Eropa dalam resolusi No.10 tahun 1976, Perancis diamanatkan agar hakim diberikan hak untuk dapat tidak menjatuhkan pidana terhadap delik-delik ringan. Namun, sebelum rekomendasi tersebut, pada 11 Juli 1975 sebenarnya sistem peradilan pidana Perancis sudah memperkenalkan lembaga pemaafan Hakim. Untuk saat ini, KUHAP Perancis telah mengatur mengenai the declaration of guilt without imposing a penalty atau pernyataan bersalah tanpa menjatuhkan pemidanaan. nah dengan adanya pemaafan hakim yang diatur secara tegas di dalam KUHAP Perancis, sehingga hakim di Perancis memiliki kewenangan untuk memberikan pemaafan hakim karena terdapat landasan hukumnya. Oleh karena itu, dengan mulai adanya rencana pengaturan penerapan pemaafan hakim di Indonesia dalam RKUHP dapat menjadi solusi agar hakim memiliki landasan hukum untuk dapat menerapkan pemaafan hakim apabila RKUHP telah diundangkan. Artinya, ketika pemaafan hakim diberikan maka tidak bertentangan dengan asas legalitas dan hakim juga lebih memperhatikan keadilan.

Penulis berpendapat bahwa meskipun pemaafan hakim dapat mengesampingkan kepastian hukum, namun konsep ini perlu diterapkan dalam pembaharuan hukum pidana untuk mendorong asas legalitas yang dianut dalam hukum pidana ke arah yang lebih fleksibel. Penerapan tersebut diperlukan supaya keadilan dapat tercapai apabila sewaktu-waktu keadilan tidak dapat dipenuhi melalui penerapan peraturan perundang-undangan. Akan tetapi, perlu pembatasan dalam penerapan pemaafan hakim karena konsep ini hanya diterapkan sebagai alternatif ketika penjatuhan suatu pidana akan menyebabkan ketidakadilan. Pembatasan tersebut berupa pertimbangan terhadap ringannya perbuatan, keadaan pribadi pelaku, dan/atau keadaan pada waktu tindak pidana dilakukan serta aspek keadilan dan kemanusiaan.

Dasar Hukum:

  • Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  • Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Straftrecht).
  • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Perdata (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209).
  • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076).

Referensi:

[1] M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP : Penyidikan dan Penuntutan, (Sinar Grafika: Jakarta, 2006), halaman 347-354.

[2]  Nico Keizer, D. Schaffmeister, Beberapa Catatan Tentang Rancangan Permulaan 1998 Buku I KUHP Baru Indonesia, (Driebergen/Valkenburg: Belanda, 1990), halaman 55.

[3] Nefa Claudia Meliala, Rechterlijk Pardon (pemaafan hakim): Suatu Upaya Menuju Sistem Peradilan Pidana Dengan Paradigma Keadilan Restoratif, Jurnal IUS Kajian Hukum dan Keadilan, Volume 8-Nomor 3, Desember 2020, halaman 553-562.

[4] P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Citra Aditya Bakti: Bandung, 1996), halaman 3-5.

[5] Nany Suryawati, Hak Asasi Politik Perempuan, (Ideas Publishing: Gorontalo, 2020), halaman 12.

[6] Adery Ardhan Saputro, Konsepsi Rechterlijk Pardon Atau Pemaafan Hakim Dalam Rancangan KUHP, Mimbar Hukum, Volume 28-Nomor 1, Februari 2016, halaman 61.

[7] Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, (Jakarta: Aksara Baru, 1983), halaman 4.

[8] Helmi Firdaus, Nenek Asiani Dinyatakan Bersalah, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20150423151941-12-48782/nenek-asiani-dinyatakan-bersalah (diakses pada 25 April 2022 pukul 16.55 WIB). 

[9] M. Yahya Harahap, supra note nomor 1, halaman 36.

[10] Nefa Claudia Meliala, supra note nomor 3, halaman 552.

[11] P.A.F Lamintang, supra note nomor 4, halaman 15-19.

[12] Nefa Claudia Meliala, supra note nomor 3, halaman 554.

[13] M. Yahya Harahap, supra note nomor 1, halaman 36.

[14] Aristo Evandy A.Barlian, Barda Nawawi Arief, Formulasi Ide Permaafan Hakim (Rechterlijk Pardon) dalam Pembaharuan Sistem Pemidanaan di Indonesia, Jurnal Law Reform, Volume 13-Nomor 1, 2017, halaman 33.

[15] Ibid.

[16] Ibid.


Tersedia di: