Notulensi Siaran Radio 23 November 2016 “Perjanjian Kerja dalam Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia”

Notulensi Siaran Radio “Pojok Hukum

 ˜ Rabu, 23 November 2016 –

Tema:

“Perjanjian Kerja dalam Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia”

Oleh:

Prof. Dr. C. Dewi Wulansari, S.H., M.H., S.E., M.M.

dan

Lembaga Bantuan Hukum “Pengayoman

Universitas Katolik Parahyangan

 

Manusia adalah makhluk ekonomi yang selalu memiliki kebutuhan yang hendak dicapai. Dalam memenuhi kebutuhan itu, manusia pada umumnya bekerja atau melakukan usaha tertentu. Hak untuk bekerja diatur dalam ideologi negara Indonesia yaitu dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).  Dalam Pasal tersebut dijelaskan bahwa setiap warga negara Indonesia memiliki hak untuk mendapat pekerjaan dan penghidupan yang layak. Sehingga melalui Pasal 27 UUD 1945 tersebut diatur mengenai adanya perlindungan terhadap pekerja untuk menjamin haknya.

Dalam suatu hubungan kerja terdapat dua pihak utama, yaitu pengusaha (pemberi kerja) dan pekerja. Tentunya kedua belah pihak, baik pengusaha maupun pekerja, menginginkan adanya kepastian hukum dalam hubungan kerja. Oleh karena itulah, diperlukan suatu perjanjian khusus yang disebut sebagai perjanjian kerja. Menurut Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan), perjanjian kerja adalah suatu perjanjian antara pekerja dan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak, seperti upah, waktu kerja, dan sebagainya. Perjanjian kerja tersebut melandasi adanya hubungan kerja antar para pihak selama pekerjaan itu berlangsung.

Perjanjian kerja harus memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), sebagaimana diatur juga lebih lanjut dalam Pasal 52 UU Ketenagakerjaan, yaitu:

  1. kesepakatan kedua belah pihak;
  2. kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
  3. adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
  4. pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Apabila suatu perjanjian kerja bertentangan dengan syarat a dan b, maka perjanjian kerja tersebut dapat dibatalkan, sedangkan apabila terdapat pertentangan dengan syarat c dan d, maka perjanjian kerja tersebut batal demi hukum.

Perjanjian kerja haruslah dibuat secara tertulis. Ada kalanya perjanjian kerja hanya dibuat secara lisan dan kurang komprehensif. Perjanjian kerja yang demikian, sangat beresiko untuk merugikan pihak pekerja karena tidak terdapat kepastian mengenai hak dan kewajibannya, seperti jam kerja yang berlebih, tidak adanya kesempatan/waktu cuti, tidak diberikannya tunjangan, dan lain sebagainya. Oleh karena itulah, pengaturan mengenai perjanjian kerja serta ketentuan-ketentuan lain mengenai hak dan kewajiban para pihak dalam UU Ketenagakerjaan penting untuk diperhatikan dan dipahami dengan baik.

Dalam Pasal 50 UU Ketenagakerjaan diatur dua jenis perjanjian kerja, yaitu: Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Perbedaan antara kedua jenis perjanjian kerja ini adalah jangka waktu berlangsungnya hubungan kerja serta hak dan kewajiban di antara para pihak. PKWT diperuntukkan kepada pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya yang mana penyelesaiannya paling lambat 3 tahun, sehingga dengan kata lain tidak semua pekerjaan dapat diperjanjikan dengan PKWT. Dalam PKWT juga tidak diperbolehkan adanya masa percobaan kerja. Sedangkan PKWTT merupakan suatu perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha dalam mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap, artinya tidak ada batasan waktu. PKWTT dapat mensyaratkan masa perco­baan kerja yang dilakukan paling lama 3 (tiga) bulan dan harus dicantumkan dalam klausul perjanjiannya.

Dalam dunia bisnis, sering dijumpai adanya perusahaan yang menyerahkan sebagian pekerjaannya kepada perusahaan lain agar dapat lebih fokus kepada bisnis utamanya. Penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain sering disebut dengan istilah outsourcing. Landasan hukum mengenai outsourcing di Indonesia adalah dalam Pasal 64 UU Ketenagakerjaan yang berbunyi: “Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis”. Tidak semua rangkaian kegiatan dan jenis pekerjaan dapat diserahkan kepada perusahaan outsourcing. Umumnya, hanya kegiatan penunjang perusahaan dari rangkaian proses produksi, dan /atau hanya kegiatan jasa penunjang yang diserahkan ke perusahaan oursourcing, misalnya jasa parkir, kebersihan, keamanan, dan sebagainya.

Sumber gambar: detiklife.com

Baca Juga

Perjanjian Perkawinan: Penting atau Tidak?

Perjanjian Perkawinan: Penting atau Tidak?

Narasumber: Lidwina Larasati Himawan, S.H., M.H. Notulen: Febri Patricia Margareth Simanjuntak Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) pada dasarnya tidak memberikan definisi atau arti dari perjanjian perkawinan. Akan...

Bagaimana Pengaturan Cuti Haid bagi Pekerja Perempuan di Indonesia?

Bagaimana Pengaturan Cuti Haid bagi Pekerja Perempuan di Indonesia?

Penulis: Azka Muhammad Habib Pada dasarnya, perempuan memiliki keunikan tersendiri yang tidak dimiliki oleh laki-laki baik dari segi fisik, psikis, dan biologis.[1] Salah satu keunikan yang dimiliki perempuan khususnya dari segi biologis adalah siklus sistem...

Kapan Memalsukan Tanda Tangan Bisa Dipidana?

Kapan Memalsukan Tanda Tangan Bisa Dipidana?

Penulis: Tiara Nabila Dalam kehidupan sehari-hari tanda tangan bukanlah merupakan suatu hal yang asing. Setiap orang pernah menandatangani dokumen dalam bentuk apa pun. Tanda tangan dapat ditemukan dalam dokumen-dokumen yang memerlukan persetujuan, dokumen resmi dari...