Notulensi Siaran Radio “Pojok Hukum”
Rabu, 31 Agustus 2016
Tema:
“Amnesti Pajak (Tax Amnesty) dalam Hukum di Indonesia”
Oleh:
Rismawati, S.H.
dan
Lembaga Bantuan Hukum “Pengayoman”
Universitas Katolik Parahyangan
Pembangunan nasional yang berlangsung secara terus-menerus dan berkesinambungan selama ini, bertujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Untuk merealisasikan tujuan tersebut diperlukan anggaran pembangunan yang cukup besar. Salah satu usaha untuk mewujudkan peningkatan penerimaan untuk pembangunan tersebut adalah dengan menggali sumber dana yang berasal dari dalam negeri, yang salah satunya berupa pemungutan pajak.
Secara ekonomi, pemungutan pajak merupakan penerimaan negara yang digunakan untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat. Sekarang ini pajak merupakan sumber penerimaan yang dominan dalam struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), hampir 70% penerimaan negara berasal dari sektor pajak. Pada Tahun 2016, target pendapatan Negara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dari penerimaan perpajakan adalah sebesar Rp 1.546,7 triliun.
Pemerintah perlu mempertimbangkan kebijakan-kebijakan perpajakan yang dapat menarik minat masyarakat untuk menjadi wajib pajak atau lebih menjadi wajib pajak yang taat, seperti misalnya kebijakan tax amnesty. Kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan subjek pajak dan objek pajak. Subjek pajak dapat berupa berupa penambahan jumlah wajib pajak, sedangkan dari sisi objek pajak berupa kembalinya dana-dana yang berada di luar negeri.
Pada 28 Juni 2016 lalu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) secara resmi mengesahkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (UU Pengampunan Pajak). Amnesti Pajak berlaku sejak disahkannya UU Pengampunan Pajak hingga 31 Maret 2017, dan terbagi kedalam 3 (tiga) periode, yaitu: Periode I: dari tanggal diundangkan s.d 30 September 2016; Periode II: dari tanggal 1 Oktober 2016 s.d 31 Desember 2016; dan Periode III: dari tanggal 1 Januari 2017 s.d 31 Maret 2017.
Melalui undang-undang tersebut, para wajib pajak yang belum melaporkan pajak terhutang dan hartanya akan mendapat tarif tebusan yang lebih rendah. Tarif tersebut dibagi menjadi tiga kategori, yakni bagi usaha kecil menengah, bagi wajib pajak yang bersedia merepatriasi asetnya di luar negeri, serta deklarasi aset di luar negeri tanpa repatriasi. Untuk wajib pajak usaha kecil menengah yang mengungkapkan harta sampai Rp 10 miliar akan dikenai tarif tebusan sebesar 0,5%, sedangkan yang mengungkapkan lebih dari Rp 10 miliar dikenai 2%. Lalu, untuk wajib pajak yang bersedia merepatriasi asetnya di luar negeri akan diberikan tarif tebusan sebesar 2% untuk Juli-September 2016, 3% untuk periode Oktober-Desember 2016, dan 5% untuk periode 1 Januari 2017 sampai 31 Maret 2017. Terakhir, wajib pajak yang mendeklarasikan asetnya di luar negeri tanpa repatriasi akan dikenai tarif 4% untuk periode Juli-September 2016, 6% untuk periode Oktober-Desember 2016, dan 10% untuk periode Januari-Maret 2017.
Terdapat beberapa alasan mengapa amnesti pajak perlu dilakukan, yaitu karena target pajak 2015 meleset hampir 20% dari target. Hal tersebut disebabkan karena tingkat kepatuhan pajak Warga Negara Indonesia (WNI) masih rendah, untuk mendapatkan basis data pembayar pajak baru atau untuk mendapatkan basis data yang lebih baik, adanya Automatic Exchange of Information antar Negara dunia yang mulai berlaku pada tahun 2018, yaitu sistem untuk saling membagikan data secara otomatis atas dana di bank luar negeri ke negara tempat warga negaranya menempatkan dana di luar negeri, dan rahasia bank tidak berlaku lagi di Indonesia mulai 2018 artinya mulai 2018 Direktorat Jenderal Pajak dapat mengakses rekening bank setiap orang di bank-bank Indonesia.
Keuntungan dari mengikuti amnesti pajak diatur dalam Pasal 11 ayat (5) UU Pengampunan Pajak, yaitu penghapusan pajak terhutang yang belum diterbitkan ketetapan pajak, sanksi administrasi, serta sanksi pidana di bidang perpajakan, tidak dilakukannya pemeriksaan, juga penghentian pemeriksaan. Apabila tidak mengikuti program amnesti pajak, konsekuensinya adalah tidak akan mendapatkan keuntungan-keuntungan tersebut dan jika suatu saat dilakukan pemeriksaan dan ternyata ditemukan ada data yang masih disembunyikan maka akan dilakukan proses tindakan perpajakan sesuai aturan berlaku dan sanksi kenaikan berupa denda 200% dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar.