Nasib Final and Binding dalam Pertarungan Konstitusional Pasca Putusan MK

Narasumber: Shannon Lorelei, Eugenia Priska, Giselle Suhendra, dan Syaima Azzahra

Notulen: Tiara Nabila

Kontroversi dan Kejanggalan pada Putusan MK Nomor 90 Tahun 2023

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 (selanjutnya disebut Putusan MK No 90 Tahun 2023) merupakan putusan yang membahas mengenai persyaratan batas usia capres-cawapres. Permohonan pengujian terkait dengan batas usia capres-cawapres ini tidak hanya satu permohonan saja, tetapi terdapat 5 (lima) permohonan sekaligus dengan objek pengujian yang sama. Oleh karenanya, putusan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut MK) terkait hal ini tidak hanya satu saja tetapi ada 5 (lima) putusan sekaligus yaitu Putusan MK No 29, 51, 55, 90, dan 92 tahun 2023. Tetapi fokus dari pembahasan podcast kali ini adalah Putusan MK No 90 Tahun 2023. 

Berkaca pada Putusan MK tersebut, terdapat beberapa kontroversi dan kejanggalan yang dapat disoroti. Pertama, terkait dengan tsunami permohonan dengan kesamaan norma yang diuji yakni Pasal 169 huruf q Undang-Undang No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (selanjutnya disebut Undang-Undang Pemilu). Pada umumnya, apabila terdapat suatu pengujian norma yang serupa, MK cenderung menggabungkan pengujian tersebut. Akan tetapi dalam kejadian ini, pengujiannya dan pembacaan putusan dilakukan secara individual atau satu per satu. Masalahnya adalah mengapa dalam perkara pengujian ini dipisah dan seolah-olah membuat celah bagi putusan MK No 90 Tahun 2023 untuk diputus berbeda setelah pengujian pertama, kedua, dan ketiga padahal objek uji normanya sama. Perubahan pertimbangan hukum dan sikap hakim konstitusi dalam hal ini juga terjadi dalam waktu singkat, yang mana sebelumnya 3 (tiga) putusan yang ditolak (dalam Putusan MK No 29, 51 dan 55 Tahun 2023) kemudian menjadi dikabulkan melalui Putusan MK No 90 Tahun 2023 hanya dalam waktu beberapa hari saja.

Kedua, terkait dengan masalah legal standing dari pemohon dalam Putusan MK Nomor 90 Tahun 2023, dimana pemohon menyatakan bahwa ketika dirinya tidak bisa memilih idolanya sebagai capres-cawapres dinilai sebagai kerugian konstitusional. Padahal, ketidakmampuan untuk memilih idola sebagai capres-cawapres bukanlah kerugian konstitusional melainkan kerugian subjektif semata dari pihak pemohon. Ketiga, usia bukanlah isu konstitusional, sehingga seharusnya permohonan pengujian usia capres-cawapres ini ditolak dan dikembalikan ke pembentuk Undang-Undang sesuai dengan prinsip Kebijakan Hukum Terbuka atau Open Legal Policy. Artinya, permohonan pengujian usia capres-cawapres bukanlah kewenangan MK. Akan tetapi, MK memberikan tanggapan terhadap ketiga permohonan dengan argumen bahwa jika MK menetapkan batas usia 35 (tiga puluh lima) tahun atau di bawah 40 (empat puluh) tahun, hal tersebut akan dianggap sebagai tindakan diskriminatif terhadap kelompok usia yang berada di bawah batasan tersebut. Selanjutnya, dalam Putusan MK No 90 Tahun 2023, MK menambahkan frasa dalam pasal yang diujikan, padahal sebenarnya MK tidak diperbolehkan menambahkan frasa dalam pengujian norma melainkan sebatas menafsirkan saja. Sehingga menjadi aneh dalam Putusan MK Nomor 90 Tahun 2023 ini MK dapat menambahkan frasa “pernah/sedang menduduki jabatan terpilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah.” Selain itu, terdapat perdebatan, sebab kata “sedang” dalam frasa “sedang menjabat” tidak ada dalam permohonan namun dalam amar putusannya ditambahkan. Hal ini semakin menguatkan adanya kecacatan dalam proses pengujian yang terindikasi pula adanya pelanggaran etik karena kepentingan oknum tertentu. 

Selain ketiga kontroversi yang telah dijelaskan, terdapat pula kontroversi tentang Concurring Opinion atau alasan yang berbeda dan Dissenting Opinion atau pendapat yang berbeda. Menurut Guntur Hamzah, Anwar Usman, dan Manahan Sitompul yang mengabulkan permohonan tersebut menyetujui bahwa semua kepala daerah dapat menjadi capres-cawapres meski belum berusia 40 (empat puluh) tahun. Namun, menurut Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic Pancastaki dalam Concurring Opinion-nya, hanya kepala daerah pada tingkat provinsi (gubernur) yang dapat menjadi capres-cawapres meski belum berusia 40 (empat puluh) tahun. Dalam hal ini terlihat ada 3 (tiga) hakim konstitusi yang berpendapat bahwa semua kepala daerah dapat menjadi capres-cawapres meskipun belum berusia 40 (empat puluh) tahun, sedangkan 2 (dua) hakim konstitusi lainnya berpendapat bahwa hanya kepala daerah tingkat provinsi saja yang dapat menjadi capres-cawapres. Sementara, 4 (empat) hakim konstitusi lainnya menolak secara tegas permohonan yang diajukan oleh pemohon. Sehingga, jika dilihat lebih lanjut, Putusan MK No 90 Tahun 2023 sebenarnya tidak dikabulkan oleh mayoritas hakim konstitusi, melainkan hanya oleh tiga hakim konstitusi, karena dua hakim konstitusi lainnya itu setuju dengan pandangan yang berbeda. Terakhir, masalah terkait pelanggaran hukum acara MK, terutama terkait dengan penarikan permohonan dan pemrosesan yang dipaksakan. Oleh karenanya dapat digaris bawahi, bahwa hukum acara bukan hanya masalah prosedural semata, melainkan memiliki bobot yang lebih berat karena dapat menentukan kebenaran atau ketidakbenaran suatu putusan. Menjadi suatu kejanggalan bagi Putusan MK Nomor 90 Tahun 2023, sebab permohonan tersebut di tengah-tengah proses sebenarnya sudah pernah ditarik oleh Pemohon, tetapi proses pemeriksaan di MK masih tetap berjalan. 

Pembentukan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK)

Akibat dari banyaknya kontroversi tersebut, dibentuklah suatu Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut MKMK) secara ad hoc atau yang bersifat sementara. Dimana kehadiran MKMK di sini adalah untuk memeriksa salah satu hakim konstitusi sebagai hakim MK terlapor yaitu Anwar Usman terkait dengan adanya dugaan pelanggaran kode etik hakim konstitusi. Dalam Putusan MKMK Nomor 2 Tahun 2023, Anwar Usman terbukti telah melanggar kode etik hakim konstitusi sebagaimana tertuang dalam Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi Republik Indonesia (Sapta Karsa Hutama). Penyusunan Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi atau Sapta Karsa Hutama ini merujuk kepada “The Bangalore Principles of Judicial Conduct 2002” yang telah disesuaikan dengan sistem hukum dan peradilan Indonesia. Beberapa prinsip yang dilanggar oleh Anwar Usman, di antaranya Prinsip Ketidakberpihakan atau Imparsialitas, Integritas, Kecakapan dan Kesetaraan, Independensi, serta Kepantasan dan Kesopanan. Akan tetapi di dalam podcast ini, titik berat pembahasan ada pada Prinsip Independensi dan Imparsialitas, karena seperti apa yang ramai dibicarakan oleh masyarakat dan juga disampaikan oleh hakim MKMK dalam putusannya, bahwa Anwar Usman sebagai hakim terlapor memiliki keterkaitan dengan dalil bahwa penyelesaian perkara dimaksud dapat memberi keuntungan bagi pihak yang memiliki hubungan kekerabatan dengan Hakim Terlapor, salah satunya adalah Gibran Rakabuming Raka. Maka dari itu, dengan adanya dua prinsip mendasar tersebut, Anwar Usman dinilai seharusnya mundur dari proses pemeriksaan dan pengambilan Putusan MK No 90 Tahun 2023 karena adanya conflict of interest.  

Terhadap Putusan MKMK Nomor 2 Tahun 2023, Anwar Usman selaku mantan ketua MK sekaligus sebagai hakim konstitusi terlapor juga mengajukan pembelaan dengan menyatakan bahwa sebenarnya dalam pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar NRI 1945 ini, MK sedang melaksanakan tugasnya yakni abstract review, yaitu peradilan hukum, sehingga tidak memungkinkan adanya conflict of interest. Akan tetapi perlu disadari bahwa terhadap argumen milik Anwar dari hakim MKMK yang menyatakan bahwa sekalipun yang menjadi objek pengujian adalah Undang-Undang, perlu disadari bahwa Undang-Undang sebagai peraturan yang dikeluarkan oleh badan legislatif tetap saja terdapat kemungkinan memberikan keuntungan bagi golongan tertentu, salah satunya adalah kepentingan hakim MK secara pribadi. Sehingga dinilai bahwa sekalipun yang menjadi objek pengujian adalah Undang-Undang dalam artian bukan orang maupun badan hukum tidak menutup adanya sangkut paut dengan hakim MK secara pribadi, sehingga hakim MKMK berpendapat bahwa dalam pengujian undang-undang sekalipun dapat terjadi adanya konflik kepentingan atau conflict of interest

Sifat Putusan MK

Menurut Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945, MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang, terhadap Undang-Undang Dasar. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka sifat putusan MK adalah final. Sifat final ini memiliki arti bahwa sifat putusan MK langsung dapat dilaksanakan setelah pembacaan putusan MK. Jadi, setelah adanya putusan yang dikeluarkan oleh MK, tidak ada peluang untuk mengajukan upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa. Hal ini sejalan dengan Penjelasan Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. Selain itu, dinyatakan pula bahwa Sifat final dalam putusan MK mencakup kekuatan hukum mengikat (binding), sehingga putusan MK bersifat final and binding. Lalu, dapat dilihat dalam Peraturan MK Nomor 1 Tahun 2023 tentang MKMK, bahwa MKMK merupakan perangkat yang dibentuk MK untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, dan martabat dari hakim konstitusi. Selain itu, MKMK dibentuk untuk menjaga kode etik dan perilaku hakim konstitusi. Jadi, pembentukan lembaga MKMK ini ditekankan untuk memeriksa dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh hakim konstitusi, bukan sebagai forum yang dapat ditempuh  untuk melakukan upaya hukum terhadap putusan MK. Dengan demikian, putusan MKMK itu tidak dapat mencabut atau menyatakan Putusan MK tidak sah.

Putusan yang bersifat final and binding sendiri disebabkan karena MK memiliki kewenangan untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir. Lebih lanjut, Putusan MK memperoleh kekuatan  hukum  tetap  sejak  diucapkan  dalam  sidang pleno yang terbuka untuk umum. Jadi, sifat putusan MK ini memiliki perbedaan dengan putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung dan peradilan di bawahnya, yang mana dapat dilakukan upaya hukum lanjutan seperti banding, kasasi atau peninjauan kembali. Dengan adanya sifat final and binding ini, segala putusan MK terlebih terkait dengan pengujian Undang-Undang terhadap UUD NRI 1945 memiliki kekuatan mengikat bagi seluruh warga negara. Serta Putusan MK akan langsung berlaku pada saat itu juga yakni saat putusan MK dibacakan, yang mana hal ini dikenal dengan sebutan erga omnes. Jadi sederhananya dalam putusan MK Nomor 90 Tahun 2023 ini pada dasarnya merubah esensi dari satu Undang-Undang, dalam hal ini Undang-Undang Pemilu. Akan tetapi, dalam hal ini tidak perlu dilakukan suatu perubahan Undang-Undang terlebih dahulu oleh lembaga legislatif agar Putusan MK ini bisa berlaku. Melainkan Putusan MK ini bisa langsung berlaku sekalipun rumusan dalam Undang-Undang nya tidak diubah oleh lembaga legislatif. Sehingga meskipun putusan MK Nomor 90 Tahun 2023 ini sejak dibacakan sebenarnya sudah langsung menuai protes di masyarakat, tetapi hingga saat ini Putusan MK No 90 Tahun 2023 ini masih berlaku karena adanya sifat final and binding. Jadi sifatnya ini istimewa dan berbeda dari putusan badan peradilan lainnya yang dapat dilakukan upaya hukum jika ditemukan adanya kecacatan dalam putusan tersebut. 

Sejatinya apabila ditemukan cacat formil dalam pembentukan Undang-Undang, maka hakim konstitusi akan secara otomatis menganggap substansi dari undang-undang itu cacat secara materiil. Hal itu dikarenakan apabila proses pembuatannya cacat, maka seharusnya, sebuah produk yang dihasilkan juga dianggap cacat. Seharusnya konsep ini diterapkan juga dalam hal terjadi kecacatan dalam Putusan MK. Maka dari itu, jika ada Putusan MK yang terbukti cacat secara prosedur, maka putusan tersebut juga seharusnya dinyatakan tidak berlaku dan tidak sah. Tapi, yang jadi permasalahan sekaligus kelemahan dari putusan MK yang bersifat final and binding ini, meskipun sudah terbukti adanya pelanggaran etik dalam proses pengujian tersebut, tidak membuat putusan MK menjadi tidak berlaku. Hal ini sejalan dengan pendapat salah satu ahli hukum tata negara yaitu Sri Soemantri yang berpendapat bahwa putusan yang telah berkekuatan hukum tetap harus mengikat secara hukum. Sifat mengikat ini penting untuk menjamin kepastian hukum. Artinya, putusan tersebut tidak dapat diubah atau dibatalkan oleh lembaga lain. Dalam putusan MK berlaku juga asas res judicata, yang mana menurut asas res judicata, apa yang diputus hakim harus dianggap benar dan harus dilaksanakan. Jadi pada intinya, putusan  MK harus dianggap benar. Sekalipun ada indikasi cacat formil, Putusan MK itu tetap bersifat final and binding.  

Apabila terdapat Putusan MK yang kemudian dirasa merugikan bagi masyarakat Indonesia

Terhadap masyarakat yang mengalami kerugian konstitusional dari Putusan MK No 90 Tahun 2023 ini dapat melakukan uji ulang terhadap Undang-Undang yang telah mengalami perubahan akibat Putusan MK. Apabila dikaitkan dengan Putusan MK Nomor 90 Tahun 2023, maka solusinya adalah dengan mengajukan uji ulang Undang-Undang Pemilu yang sudah mengalami perubahan karena adanya putusan MK No 90 Tahun 2023, dan hingga saat ini sudah ada permohonan uji ulang Undang-Undang Pemilu yang telah mengalami perubahan oleh Putusan MK No 90 Tahun 2023 yang sudah terdaftar di MK. Nantinya apabila telah ada putusan MK yang terbaru atas pengujian ulang Undang-Undang Pemilu yang telah mengalami perubahan oleh Putusan MK No 90 Tahun 2023 dan ternyata diputus berbeda dari Putusan MK No 90 Tahun 2023 yang kita ketahui sekarang, maka secara tidak langsung Putusan MK yang terbaru ini nantinya akan mengesampingkan Putusan MK No 90 Tahun 2023. 

Sifat Putusan MK di negara lain

Sifat atau kekuatan putusan MK itu dibagi dalam 2 (dua) kelompok yaitu strong form review dan weak form review. Strong form review dalam bahasa indonesia disebut dengan daya putusan kuat. Artinya, ketika suatu negara menganut strong form review, maka Putusan MK memiliki sifat final and binding sejak dibacakannya putusan MK yang bersangkutan pada sidang pleno. Jadi, dalam hal ini Putusan MK yang bersangkutan sudah tidak dapat lagi digugat atau dikoreksi lagi oleh lembaga lain termasuk lembaga legislatif. Mekanisme inilah yang dianut oleh MK di Indonesia. Selain MK Indonesia, MK di Korea Selatan dan MK di Jerman juga menganut sistem strong form review. Kelebihan dari strong form review ini adalah kepastian hukum bagi masyarakat. Sementara itu, praktik weak-form review atau daya putusan lemah yang tentunya berbeda dengan sifat putusan MK yang ada di Indonesia. Negara yang menganut weak form review diantaranya adalah Inggris, Kanada, dan Selandia Baru. Pada negara yang menganut weak form review, putusan MK tidak bersifat final and binding, dalam artian keputusan akhir mengenai putusan MK, diserahkan kepada parlemen. Jadi ilustrasinya ketika MK di Inggris mengeluarkan putusan, maka hasil dari putusan MK ini diserahkan kepada parlemen untuk menentukan apakah Putusan MK yang dikeluarkan ini diterima atau ditolak oleh parlemen. Sehingga, penentuan dari sifat final and binding dari Putusan MK ditentukan oleh parlemen sebagai pengambil keputusan terakhir. 

Gagasan Untuk Mengakomodasi Sifat Final and Binding dari Putusan MK

Beberapa tahun belakangan ini memang banyak Putusan MK yang terkesan ‘ikut campur’ dalam urusan politik, yang mana sebenarnya urusan politik itu bukan merupakan bagian dari tugas dan wewenang MK melainkan menjadi urusan dari lembaga legislatif. Sebenarnya, terdapat suatu konsep yang disebut dengan judicial restraint atau pembatasan badan peradilan. Dalam hal ini Judicial restraint mengarah pada prinsip  yang  mengharuskan  pengadilan atau dalam hal ini MK untuk menahan diri dalam membuat putusan yang  bersinggungan dengan kewenangan legislatif, salah satunya adalah dalam hal adanya open legal policy yang pada pokoknya menjadi kewenangan dari pembentuk Undang-Undang. Hal ini karena apabila diperhatikan, terdapat beberapa rumusan pasal di Undang-Undang yang menjadi objek permohonan untuk diuji oleh MK yang sebenarnya merupakan aturan yang sifatnya open legal policy. Konsep judicial restraint ini bukan hal yang baru di Indonesia, karena sebenarnya telah ada beberapa putusan MK yang menolak permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD NRI 1945 dengan alasan norma yang diuji merupakan open legal policy. Dalam praktiknya, sudah ada beberapa Putusan MK yang menerapkan konsep judicial restraint. Beberapa Putusan MK yang menerapkan konsep judicial restraint adalah Putusan MK No 30/PUU/XIII/2015 dan Putusan MK No 85/PUU/XVI/2018 yang semuanya ditolak oleh MK di mana dalam pertimbangannya hakim MK menyatakan bahwa rumusan yang dimintakan pengujian oleh pemohon adalah open legal policy dan bukan merupakan konstitusionalisme norma. Selain itu, dalam 3 (tiga) Putusan MK yang mendahului Putusan MK No 90 Tahun 2023 yakni Putusan MK No 29, 51 dan 55 Tahun 2023, sebenarnya hakim juga sempat menerapkan konsep judicial restraint, dimana hakim MK menolak permohonan pemohon karena menganggap norma yang diuji dalam hal ini yaitu batas usia capres-cawapres yang merupakan open legal policy, meskipun pertimbangan ini kemudian berubah dalam Putusan MK Nomor 90 Tahun 2023. 

Tersedia di:

Spotify

Anchor

Google Podcast

Baca Juga

Perjanjian Perkawinan: Penting atau Tidak?

Perjanjian Perkawinan: Penting atau Tidak?

Narasumber: Lidwina Larasati Himawan, S.H., M.H. Notulen: Febri Patricia Margareth Simanjuntak Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) pada dasarnya tidak memberikan definisi atau arti dari perjanjian perkawinan. Akan...