Narasumber: Asfinawati, S.H., M.Fil.
Notulen: Sisilia Maria Fransiska
Saat ini, kondisi kebebasan berpendapat di Indonesia sangat memprihatinkan. Hal ini karena terdapat banyak indeks-indeks demokrasi yang menunjukkan kemunduran. Salah satu akibat kemunduran indeks demokrasi tersebut adalah terkait dengan kebebasan sipil yang di dalamnya termasuk kebebasan berekspresi. Contohnya saja, pada tahun 2019 dan 2020 telah terjadi penangkapan sewenang-wenang terhadap ratusan orang hanya karena mereka menyampaikan pendapat di muka umum atau berdemonstrasi secara damai. Padahal esensi dari demonstrasi adalah menyampaikan pendapat di depan publik. Dengan begitu, penangkapan sewenang-wenang terhadap ratusan orang yang berdemonstrasi secara damai tersebut termasuk dalam pembatasan kebebasan berpendapat atau berekspresi.
Lebih lanjut, Freedom House berpendapat bahwa kebebasan menyatakan pendapat melalui internet (freedom on the net) di Indonesia mengalami kemunduran. Kemunduran freedom on the net tersebut disebabkan karena tidak adanya ketentuan yang cukup untuk melindungi orang-orang yang menyampaikan pendapat melalui internet. Akan tetapi, orang-orang tersebut justru dikriminalisasi melalui ketentuan-ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut UU ITE Tahun 2008). Meskipun undang-undang tersebut telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut UU ITE Tahun 2016), namun ketentuan-ketentuan yang ada di dalamnya tetap menjadi ancaman.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP Baru) terdapat beberapa pasal yang berkaitan erat dengan kebebasan berpendapat, yaitu pasal penghinaan, pencemaran nama baik, dan fitnah. Apabila membaca secara sepintas, maka pengertian dari penghinaan, pencemaran nama baik, dan fitnah tampak sama dan seakan-akan dapat saling menggantikan satu sama lain. Misalnya, ketentuan terkait pasal penghinaan pemerintah atau lembaga negara. Dalam Penjelasan Pasal 240 KUHP Baru, yang dimaksud dengan “menghina” adalah perbuatan yang merendahkan atau merusak kehormatan atau citra pemerintah atau lembaga negara, termasuk menista atau memfitnah. Berdasarkan Penjelasan Pasal 240 KUHP Baru dapat diketahui bahwa memfitnah tercakup di dalam makna penghinaan pemerintah.
Selanjutnya, terdapat juga pasal penghinaan terhadap beberapa golongan atau kelompok. Berkaitan dengan hal tersebut, pada instrumen Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut HAM) dikenal adanya hate speech atau penghinaan berdasarkan jenis kelamin, agama, dan sebagainya. Lebih lanjut, terdapat pula pasal penghinaan terhadap orang pada umumnya. Tidak hanya itu, terdapat juga pasal pemfitnahan. Pemfitnahan berarti menuduhkan sesuatu, namun tidak dapat membuktikannya. Adapun, perbedaan antara penghinaan, pencemaran nama baik, dan fitnah dalam KUHP Baru tidaklah jelas. Hal ini karena KUHP Baru melekatkan antara konsep penghinaan, pencemaran nama baik, dan fitnah sehingga mengakibatkan kebingungan pada taraf praktik. Akan tetapi, yang patut diperhatikan adalah subjek yang dilindungi dalam rumusan pasal KUHP Baru, yaitu Presiden, lembaga negara, atau orang atau sekelompok orang yang berbasis pada ras dan lain-lain. Hal ini disebabkan karena penghinaan, pencemaran nama baik, atau fitnah terhadap masing-masing subjek tersebut harus dituduhkan pasal yang berbeda.
Pada dasarnya, pasal-pasal yang memperkecil ruang kebebasan berpendapat hanya terdapat di negara-negara yang tidak demokratis. Hal tersebut berkaitan dengan alasan utama yang melatarbelakangi pasal penghinaan Presiden dan/atau Wakil Presiden sulit dihilangkan secara murni di Indonesia, yaitu akibat terjadinya kemunduran demokrasi di Indonesia. Sementara itu, pada negara-negara yang demokratis, sesungguhnya pasal-pasal yang mempersempit ruang kebebasan berpendapat tidak diperlukan. Hal ini diperkuat dengan alasan keberadaan pasal tersebut justru menghambat kebebasan setiap orang untuk mengkritik Presiden dan/atau Wakil Presiden. Presiden dan/atau Wakil Presiden bukanlah individu, namun merupakan jabatan publik. Suatu jabatan publik dalam negara demokratis harus bersedia untuk dikritik. Apabila tidak bersedia untuk dikritik, maka negara Indonesia bukanlah negara demokratis, namun negara yang menganut bentuk pemerintahan berupa kerajaan.
Lebih lanjut, jika diperhatikan, maka dapat diketahui bahwa pasal-pasal bermasalah yang ada di KUHP Baru terletak di bawah Bab Ketertiban Umum. Pada Bagian I Bab Ketertiban Umum terdapat pasal-pasal penghinaan terhadap simbol negara, pemerintah, lembaga negara, dan golongan penduduk. Apabila merujuk pada konsep HAM, khususnya pada prinsip-prinsip Siracusa, maka dikatakan bahwa ketertiban umum merupakan peraturan yang menjamin berfungsinya masyarakat atau prinsip-prinsip dasar yang mendasari masyarakat dan ketertiban umum harus dimaknai serta dibatasi dalam konteks tujuan HAM tertentu. Dengan begitu, ketertiban umum perlu diatur agar HAM setiap orang dapat tercapai. Sementara itu, pengaturan dalam KUHP justru membatasi HAM secara tidak sah. Hal tersebut menunjukkan bahwa konsep dalam Bab Ketertiban Umum telah salah, sehingga bab tersebut sesungguhnya tidak diperlukan di Indonesia yang merupakan negara demokratis.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa dalam Penjelasan Pasal 240 KUHP Baru telah memberikan definisi mengenai perbuatan “menghina”. Akan tetapi, definisi dari perbuatan “menghina” tersebut tidaklah jelas dan rinci, sehingga berpotensi mengkriminalisasi seseorang yang menyampaikan kritik terhadap pemerintah. Padahal pemerintah dan Presiden dan/atau Wakil Presiden bukanlah individu yang memiliki martabat (dignity), tetapi merupakan jabatan publik. Sebagai pemangku jabatan publik, pemerintah dan Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak memiliki martabat, namun memiliki kewajiban untuk menegakkan dan melindungi HAM setiap orang.
Dalam Pasal 218 KUHP Baru mengatur mengenai penghinaan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Dalam ketentuan tersebut dinyatakan bahwa:
“(1) Setiap Orang yang Di Muka Umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden dan/atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
(2) Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.”
Berdasarkan ketentuan tersebut yang dimaksud dengan menghina Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden dan/atau Wakil Presiden dengan merendahkan atau merusak kehormatan atau citra, termasuk menista atau memfitnah. Lebih lanjut, yang dimaksud dengan dilakukan untuk kepentingan umum adalah untuk melindungi kepentingan masyarakat. Akan tetapi, pada praktiknya, kritik yang disampaikan oleh masyarakat untuk kepentingan umum dapat saja di-framing oleh pihak kepolisian dan pihak penuntut umum dengan menyatakan bahwa kritik tersebut merusak nama baik Presiden dan/atau Wakil Presiden. Padahal suatu kritik itu pasti merusak nama baik. Meskipun demikian, perlu untuk kembali pada pertanyaan “apakah Presiden dan/atau Wakil Presiden memiliki nama baik mengingat Presiden dan/atau Wakil Presiden merupakan suatu jabatan publik?”
Sementara itu, dalam Pasal 240 KUHP Baru mengatur mengenai penghinaan terhadap pemerintah. Perbuatan menghina pemerintah adalah perbuatan yang merendahkan, merusak kehormatan atau citra pemerintah, termasuk menista atau fitnah. Misalnya saja, jika sering terjadi pemadaman listrik oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN) atau Perusahaan Air Minum (PAM) yang seharusnya mengeluarkan air minum ternyata mengeluarkan air yang tidak dapat diminum. Lantas, hal tersebut mengakibatkan masyarakat marah dan melakukan kampanye dengan menyatakan bahwa kinerja PLN dan PAM tersebut adalah buruk sekali. Jika merujuk pada Penjelasan Pasal 240 KUHP Baru, tindakan masyarakat tersebut telah termasuk dalam merusak citra pemerintah. Akan tetapi, patut diperhatikan bahwa tindakan yang dilakukan oleh masyarakat dengan mengungkapkan suatu pernyataan tersebut merupakan respon dari tindakan pemerintah yang tidak semestinya.
Dengan merujuk pada Pasal 218 dan 240 KUHP Baru, semakin jelas bahwa kedua ketentuan tersebut akan mengkriminalisasi seseorang dan sulit mencari batasan untuk tidak mengkriminalisasi seseorang yang menyampaikan kritik terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden atau terhadap pemerintah. Padahal Presiden dan/atau Wakil Presiden serta pemerintah telah salah secara kodratnya. Presiden dan/atau Wakil Presiden serta pemerintah hanya suatu jabatan publik yang bukan untuk dilindungi nama baiknya. Akan tetapi, individu yang menjadi Presiden dan/atau Wakil Presiden atau pemerintah yang dapat dilindungi nama baiknya. Misalnya, seseorang bukan mencerca kinerja Presiden, tetapi justru mencerca fisik individu yang menjadi Presiden, seperti badannya kurus atau hidungnya pesek. Cercaan fisik semacam itu jelas tidak ada kaitannya sama sekali dengan cara individu tersebut menjalankan pemerintahan sebagai seorang Presiden. Atau contoh lainnya, seseorang menyatakan bahwa pemerintah terdiri dari orang-orang jelek. Adapun, cercaan terhadap orang-orang yang ada di dalam pemerintah tersebut mungkin dapat dipertimbangkan sebagai sesuatu yang menghina. Akan tetapi, penghinaan yang dilakukan tersebut bukan menghina pemerintah, melainkan menghina orang-orang yang di dalam pemerintah. Dengan demikian, kedua pasal tersebut telah salah dan seharusnya tidak ada. Adapun, dengan mempertahankan kedua pasal tersebut justru mengakibatkan penerapannya yang tidak mungkin benar.
Merujuk pada salah satu bagian dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006 (selanjutnya disebut Putusan MK 013-022/PUU-IV/2006) dinyatakan bahwa:
“…dalam RUU KUHPidana yang merupakan upaya pembaharuan KUHPidana warisan kolonial juga harus tidak lagi memuat pasal-pasal yang isinya sama atau mirip dengan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHPidana.”
Berdasarkan bagian tersebut tampak adanya mandat dari Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut MK). Selain itu, dalam Putusan MK tersebut juga terdapat pertimbangan yang luar biasa, yaitu kedaulatan berada di tangan rakyat. Presiden dan/atau Wakil Presiden dipilih oleh rakyat, sehingga Presiden dan/atau Wakil Presiden harus bertanggung jawab kepada rakyat. Hal tersebut menunjukkan bahwa kedudukan Presiden dan/atau Wakil Presiden bukanlah sebagai atasan rakyat, namun justru sebagai “pesuruh” rakyat. Dengan begitu, ketika terdapat masyarakat yang mengkritik Presiden dan/atau Wakil Presiden, sesungguhnya masyarakat sedang menagih mandat yang telah diberikan.
Tidak hanya itu, dalam Putusan MK Nomor 013-022/PUU-IV/2006 juga sudah secara tegas menyatakan bahwa Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tahun 1946 (selanjutnya disebut KUHP Lama) dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Hal ini karena pasal-pasal tersebut rentan terhadap tafsir “apakah suatu protes atau pernyataan pendapat atau pikiran merupakan kritik atau penghinaan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden dan melanggar konstitusi?”. Oleh karena itu, pasal-pasal dalam KUHP Baru bukan hanya tidak tepat, tetapi sesungguhnya termasuk sebagai suatu pelanggaran terhadap Putusan MK. Hal ini karena pasal-pasal dalam KUHP Baru bukan melindungi individu-individu yang menjabat dalam suatu jabatan atau lembaga negara, tetapi masih melindungi jabatan atau lembaga negara.
Secara normatif, KUHP Baru telah mengatur mengenai pencemaran nama baik yang melindungi masyarakat secara umum. Pengaturan tersebut dapat ditemukan dalam Pasal 433 KUHP Baru. Adapun, pengaturan dalam Pasal 433 KUHP Baru tersebut sesungguhnya mengakomodasi Pasal 310 KUHP Lama. Pencantuman Pasal 310 dalam KUHP Lama dilakukan oleh pemerintah kolonial. Dengan memasukkan kembali Pasal 310 KUHP Lama tersebut dalam Pasal 433 KUHP Baru menunjukkan bahwa negara Indonesia saat ini tidak lebih demokratis daripada pemerintah kolonial.
Lebih lanjut, dalam pasal 433 KUHP Baru dinyatakan bahwa:
“(1) Setiap Orang yang dengan lisan menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum, dipidana karena pencemaran, dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.
(2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukkan, atau ditempelkan di tempat umum, dipidana karena pencemaran tertulis, dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori III.
(3) Perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak dipidana jika dilakukan untuk kepentingan umum atau karena terpaksa membela diri.”
Secara spesifik, pada ayat (3) ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa jika suatu perbuatan dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa membela diri, maka perbuatan tersebut tidak termasuk sebagai pencemaran atau pencemaran tertulis. Adapun, ayat tersebut termasuk sebagai alasan pemaaf. Maksudnya, perbuatan yang dilakukan tetap dianggap salah, tetapi dimaafkan atas dasar alasan pemaaf. Misalnya, terdapat seorang anak yang berusia 7 (tujuh) tahun. Anak tersebut tidak sengaja menusuk seseorang. Anak tersebut dianggap tidak memiliki kapasitas untuk bertanggung jawab atas tindak pidana yang dilakukannya, sehingga akan dimaafkan atas dasar alasan pemaaf.
Berkaitan dengan Pasal 433 KUHP Baru, pembuat KUHP Baru tetap bersikeras bahwa melakukan pembelaan diri dan juga bersuara untuk kepentingan umum merupakan sesuatu yang salah, tetapi orang yang melakukan hal tersebut akan dimaafkan. Padahal cara berpikir semacam itu adalah salah. Pembelaan diri dan bersuara untuk kepentingan umum seharusnya termasuk sebagai alasan pembenar, bukan sesuatu yang salah dan dimaafkan. Adapun, menarik untuk memperhatikan kasus Baiq Nuril. Dalam kasus tersebut, Baiq Nuril melakukan pembelaan diri atas kekerasan seksual yang diterimanya. Seharusnya Baiq Nuril tidak boleh dikatakan mencemarkan nama baik seseorang karena yang ia lakukan adalah membela diri.
Selain kasus Baiq Nuril, menarik pula untuk memperhatikan kasus Haris Azhar dan Fatia, di mana kasus tersebut erat kaitannya dengan perbuatan yang dilakukan untuk kepentingan umum. Dalam kasus tersebut, Luhut melaporkan Haris Azhar dan Fatia ke kepolisian dengan tuduhan melakukan pencemaran nama baik dan tindak pidana lainnya. Ketika kasus Haris Azhar dan Fatia diproses di persidangan, pengadilan (hakim) menyatakan bahwa sebagai pembela HAM, Haris Azhar dan Fatia telah membela lingkungan. Hal ini karena pertambangan-pertambangan yang dibuat oleh Luhut dapat mencelakakan lingkungan serta tidak ada transparansi. Adapun, dalam konsep Hukum Bisnis, tidak hanya terdapat pemilik perusahaan yang namanya dicantumkan dalam akta perusahaan, tetapi terdapat juga pemilik manfaat (beneficial owner) dan lain-lain. Selain itu, terdapat pula Politically Exposed Person (PEP) yang sebenarnya telah diatur dalam ketentuan institusi-institusi keuangan di Indonesia. Dengan demikian, perbuatan yang dilakukan oleh Haris Azhar dan Fatia tidak dapat dianggap sebagai pencemaran nama baik. Hal ini karena mereka sedang melakukan pembelaan umum terhadap kepentingan lingkungan di Papua dan juga masyarakat di Papua dengan menyatakan bahwa Luhut terafiliasi dengan tambang di Papua.
Dengan minimnya alasan pembenar dalam KUHP Baru pasti berpotensi meningkatkan angka kriminalisasi pelaku tindak pidana pencemaran nama baik. Secara global, Perserikatan Bangsa-Bangsa (selanjutnya disebut PBB) telah mendorong negara-negara untuk mengubah pengaturan pencemaran nama baik dari ranah Hukum Pidana menjadi ranah Hukum Perdata. Apabila melihat pada website-website PBB, maka akan tampak bahwa terdapat perayaan atau penghargaan ketika suatu negara mengubah pencemaran nama baik dari ranah Hukum Pidana menjadi ranah Hukum Perdata. Berkaitan dengan hal tersebut, patut diketahui bahwa Indonesia merupakan negara pihak dari Kovenan Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights), di mana Indonesia telah lama meratifikasi kovenan tersebut melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik). Selain itu, Hukum Pidana seharusnya patuh terhadap HAM. Dengan begitu, cara berpikir mengenai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP) tidak dapat terpisah dengan menyatakan bahwa KUHP tidak perlu mengikuti HAM. Apabila cara berpikirnya demikian dan dipraktikkan, maka Indonesia akan ditanya oleh dunia internasional apakah hukum nasional di Indonesia telah sesuai (comply) dengan ketentuan-ketentuan HAM?
Dalam Pasal 19 Kovenan Hak Sipil dan Politik telah mengatur mengenai kemerdekaan berpendapat. Dari ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa setiap orang memiliki hak untuk memegang pendapat yang tidak dapat diintervensi oleh apapun. Maksud dari “intervensi apapun” di sini mencakup ketakutan atau rasa takut serta ancaman dari pasal-pasal dalam Hukum Pidana, sehingga membatasi hak berpendapat dari setiap orang. Adapun, apabila terdapat alasan-alasan pembenar dalam KUHP Baru, maka akan mengurangi potensi kriminalisasi pelaku tindak pidana pencemaran nama baik. Misalnya, apakah pernyataan yang disampaikan merupakan pernyataan untuk jabatan atau untuk individunya? Jika ditujukan untuk individu, apakah pernyataan yang disampaikan terhadap individu tersebut berkaitan dengan perjalanannya sebagai pemerintah atau hanya benar-benar ditujukan pada dirinya sebagai individu? Lebih lanjut, narasumber berpendapat bahwa seharusnya pasal-pasal seperti pencemaran nama baik bukan lagi menjadi ranah Hukum Pidana, tetapi menjadi ranah Hukum Perdata. Apabila pasal-pasal tersebut tetap ingin dimasukkan dalam KUHP, maka seharusnya pidana yang dijatuhkan bukanlah pidana penjara dan lain-lain.
Ketika KUHP Baru berlaku akan ada kekurangan dan berpotensi menimbulkan banyak masalah dalam penerapannya. Misalnya, dalam Buku Kesatu KUHP Baru terdapat ketentuan mengenai di muka umum, di mana di muka umum mencakup digital. Ketika orang-orang gaduh dengan UU ITE Tahun 2008 beserta perubahannya dalam UU ITE Tahun 2016 dan peraturan lainnya, perlu disadari bahwa sesungguhnya KUHP Baru juga telah mencakup ranah digital.
Selanjutnya, dalam Buku Kesatu KUHP Baru terdapat pengaturan mengenai percobaan. Pada suatu tindak pidana percobaan harus terdapat permulaan pelaksanaan, di mana pelaksanaan telah dimulai. Dalam KUHP Baru telah diatur bahwa untuk beberapa tindak pidana tertentu, pelaku tindak pidana dapat dipidana meskipun tidak ada permulaan pelaksanaan. Dengan adanya persiapan melalui pembuatan rencana dan tindakan lain yang menunjukkan adanya perencanaan, maka hal tersebut telah cukup untuk memidana pelaku tindak pidana. Misalnya saja, tindak pidana makar. Padahal salah satu kritik yang sangat besar dari dunia internasional kepada Indonesia adalah penerapan pasal makar yang sesungguhnya melanggar kebebasan berpendapat. Dengan KUHP Baru mengatur bahwa seseorang dapat dipidana atas tindak pidana makar hanya dengan melakukan persiapan saja, maka pada penerapannya ini seseorang atau sekumpulan orang dapat di-framing melakukan perencanaan makar ketika mereka sedang rapat dan membicarakan sesuatu. Adapun, besar kemungkinan bahwa framing yang dilakukan tersebut dilakukan terhadap teman-teman di Papua.
Selain itu, mungkin saja pihak kepolisian tidak memahami isi dari KUHP Baru. Hal ini tidak dimaksudkan untuk merendahkan pihak kepolisian. Akan tetapi, sebagaimana telah diketahui bahwa KUHP Baru merupakan sesuatu hal yang baru sehingga tidak hanya pihak kepolisian saja, tetapi masyarakat juga harus membaca berulang kali untuk memahaminya. Lebih lanjut, dalam ilmu hukum diketahui bahwa hukum tidak hanya berupa undang-undang saja. Dengan begitu, untuk membaca dan memahami suatu pasal tertentu dalam KUHP Baru memerlukan adanya penafsiran. Dalam melakukan penafsiran, penafsiran akan dipengaruhi oleh pemahaman yang telah dimiliki oleh seseorang. Berkaitan dengan hal tersebut, sangat mungkin jika penegak hukum yang satu memiliki pandangan yang berbeda dengan penegak hukum lainnya tentang apa yang disebut penghinaan atau apa penjelasan dari pasal-pasal dalam KUHP Baru.
Oleh karena itu, masih terbuka harapan untuk mengkritik pasal-pasal yang bermasalah dalam KUHP Baru. Selain itu, masyarakat juga dapat melakukan pengumpulan putusan-putusan yang sebenarnya mencerminkan KUHP dan akan berpengaruh pada penerapan pasal-pasal dalam KUHP Baru. Hal ini mengingat bahwa KUHP Baru yang dikatakan dekolonisasi sebenarnya tidak banyak berbeda dengan KUHP Lama. Akan tetapi, KUHP Baru menjadi kolonial baru. Tidak hanya itu, menjelang tahun 2026, masyarakat juga dapat mengajukan uji materiil ke MK untuk menghilangkan pasal-pasal yang bermasalah dalam KUHP Baru.
Tersedia di: