Mengenal Gugatan Sederhana
Penulis: Sisilia Maria Fransiska
Proses penyelesaian sengketa keperdataan yang umumnya dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri kerap kali dinilai tidak efisien karena membutuhkan waktu yang cukup lama serta biaya yang besar.[1] Padahal, tidak semua sengketa keperdataan yang diselesaikan di Pengadilan Negeri memiliki nilai kerugian yang besar. Guna mengatasi permasalahan tersebut, Mahkamah Agung telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana (selanjutnya disebut Perma No. 2/2015) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2019 tentang Perubahan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana (selanjutnya disebut Perma No. 4/2019). Adapun, kedua Peraturan Mahkamah Agung tersebut menjadi dasar untuk mengajukan gugatan sederhana bagi setiap orang atau badan hukum sepanjang telah memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan. Lantas, apa itu gugatan sederhana? Serta, apa saja persyaratan yang harus dipenuhi untuk mengajukan gugatan sederhana tersebut?
Secara normatif, pengertian dari gugatan sederhana dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 1 Perma No. 2/2015 sebagaimana telah diubah dalam Pasal I angka 1 Perma No. 4/2019 yang menyatakan bahwa:
“Penyelesaian Gugatan Sederhana adalah tata cara pemeriksaan di persidangan terhadap gugatan perdata dengan nilai gugatan materiil paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) yang diselesaikan dengan tata cara dan pembuktiannya sederhana.”
Berdasarkan ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa gugatan sederhana merupakan suatu gugatan perdata yang akan diselesaikan dengan prosedur dan pembuktian yang sederhana. Dikatakan sederhana sebab gugatan sederhana memiliki mekanisme dan pembuktian yang tidak berbelit dan dapat diselesaikan dalam waktu singkat dibandingkan dengan gugatan perdata biasa. Hal ini karena penyelesaian gugatan sederhana oleh Pengadilan Negeri hanya memerlukan waktu paling lama 25 (dua puluh lima) hari sejak hari sidang pertama.[2] Namun, apabila terdapat pihak yang merasa tidak puas dengan putusan gugatan sederhana, maka terhadap putusan tersebut dapat diajukan upaya hukum berupa keberatan. Permohonan keberatan tersebut diajukan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah putusan gugatan sederhana diucapkan atau setelah pemberitahuan putusan. Selanjutnya, keberatan tersebut akan diputus dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah tanggal penetapan Majelis Hakim yang akan menangani upaya hukum keberatan tersebut.[3] Adapun, dalam Pasal 30 Perma No. 2/2015 diatur bahwa putusan keberatan akan menjadi putusan akhir yang tidak dapat diajukan upaya hukum banding, kasasi, atau peninjauan kembali.
Pada dasarnya, tidak semua sengketa keperdataan dapat diselesaikan melalui gugatan sederhana. Hal ini karena sengketa keperdataan yang dapat diselesaikan melalui gugatan sederhana harus memenuhi persyaratan tertentu. Dalam Pasal 1 angka 1 Perma No. 2/2015 sebagaimana telah diubah dalam Pasal I angka 1 Perma No. 4/2019 yang telah dikemukakan sebelumnya, dapat diketahui bahwa salah satu syarat untuk mengajukan gugatan sederhana adalah nilai gugatan materiil paling banyak sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Adapun, pembatasan nilai gugatan secara materiil ini ditujukan agar pembuktian dapat dilakukan secara sederhana dan sengketa dapat diselesaikan dalam waktu yang singkat.[4] Selanjutnya, dalam Pasal 3 ayat (1) Perma No. 2/2015 sebagaimana telah diubah dalam Pasal I angka 2 Perma No. 4/2019 menyatakan bahwa:
“Gugatan sederhana diajukan terhadap perkara cidera janji dan/atau perbuatan melawan hukum dengan nilai gugatan materiil paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”
Berdasarkan ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa jenis sengketa yang dapat diselesaikan melalui pengajuan gugatan sederhana hanya terbatas pada sengketa wanprestasi dan/atau perbuatan melawan hukum. Sengketa wanprestasi merupakan sengketa yang timbul karena tidak dipenuhinya suatu perjanjian yang memiliki prestasi (hak dan kewajiban) terukur. Sementara itu, sengketa perbuatan melawan hukum timbul karena adanya kerugian yang disebabkan oleh perbuatan yang melanggar hukum atau pelanggaran terhadap suatu perjanjian yang memiliki prestasi tidak terukur. Lebih lanjut, dalam Pasal 3 ayat (2) Perma No. 2/2015 sebagaimana telah diubah dalam Pasal I angka 2 Perma No. 4/2019 menyatakan bahwa:
“Tidak termasuk dalam gugatan sederhana adalah:
- perkara yang penyelesaian sengketanya dilakukan melalui pengadilan khusus sebagaimana diatur di dalam peraturan perundang-undangan; atau
- sengketa hak atas tanah.”
Berdasarkan ketentuan di atas dapat diketahui bahwa sengketa yang menjadi kompetensi pengadilan khusus dan sengketa hak atas tanah tidak dapat diselesaikan melalui prosedur gugatan sederhana. Adapun, contoh dari sengketa yang menjadi kompetensi pengadilan khusus adalah sengketa ketenagakerjaan, sengketa kepailitan, dan sengketa hak kekayaan intelektual yang menjadi kompetensi dari Pengadilan Niaga.
Selain memenuhi persyaratan mengenai ruang lingkup sengketa, persyaratan yang harus dipenuhi dalam mengajukan gugatan sederhana juga mencakup mengenai para pihak yang terlibat. Dalam Pasal 4 ayat (1) Perma No. 2/2015 sebagaimana telah diubah dalam Pasal I angka 3 Perma No. 4/2019 diatur bahwa:
“Para pihak dalam gugatan sederhana terdiri dari penggugat dan tergugat yang masing-masing tidak boleh lebih dari satu, kecuali memiliki kepentingan hukum yang sama.”
Merujuk pada ketentuan di atas dapat ditafsirkan bahwa masing-masing penggugat dan tergugat yang akan menyelesaikan sengketa keperdataan melalui gugatan sederhana harus berjumlah 1 (satu) orang. Akan tetapi, terdapat pengecualian, yaitu penggugat dan tergugat boleh berjumlah lebih dari 1 (satu) orang sepanjang terdapat kepentingan hukum yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa gugatan sederhana tetap membuka kemungkinan adanya penggabungan beberapa gugatan menjadi satu gugatan untuk diputus dalam satu putusan.[5] Selanjutnya, dalam Pasal 4 ayat (2) Perma No. 2/2015 sebagaimana telah diubah dalam Pasal I angka 3 Perma No. 4/2019 mensyaratkan bahwa untuk mengajukan gugatan sederhana, tempat tinggal tergugat harus diketahui secara jelas. Apabila tempat tinggal tergugat tidak diketahui, maka penggugat tidak dapat mengajukan gugatan sederhana.
Tidak hanya itu, persyaratan lain yang harus dipenuhi oleh para pihak yang hendak mengajukan gugatan sederhana adalah penggugat dan tergugat harus berdomisili di wilayah hukum pengadilan yang sama. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (3) Perma No. 2/2015 sebagaimana telah diubah dalam Pasal I angka 3 Perma No. 4/2019. Meskipun demikian, jika penggugat berada di luar wilayah hukum tempat tinggal atau domisili tergugat, maka penggugat tetap dapat mengajukan gugatan sederhana. Dalam mengajukan gugatan sederhana tersebut, penggugat harus menunjuk kuasa, kuasa insidentil[6], atau wakil yang beralamat di wilayah hukum atau domisili tergugat dengan surat tugas dari institusi penggugat.[7] Akan tetapi, pengaturan pemberian kuasa ini tidaklah jelas sebab tidak ada pengaturan lebih lanjut yang menjelaskannya. Selain itu, penulis berpandangan bahwa pemberian kuasa tersebut justru mengakibatkan penyelesaian sengketa keperdataan melalui gugatan sederhana menjadi lebih kompleks, sehingga tujuan penyelesaian gugatan sederhana untuk menyelesaikan sengketa keperdataan secara efisien menjadi terganggu. Terakhir, dalam Pasal 4 ayat (4) Perma No. 2/2015 sebagaimana telah diubah dalam Pasal I angka 3 Perma No. 4/2019 menyatakan bahwa:
“Penggugat dan tergugat wajib menghadiri secara langsung setiap persidangan dengan atau tanpa didampingi oleh kuasa, kuasa insidentil atau wakil dengan surat tugas dari institusi penggugat.”
Berdasarkan ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa sekalipun penggugat dan tergugat telah memberikan kuasa kepada pihak lain, penggugat dan tergugat harus secara langsung menghadiri persidangan. Dengan kata lain, penggugat dan tergugat tidak dapat diwakili oleh penerima kuasa, tetapi dapat didampingi oleh penerima kuasa dalam menghadiri setiap persidangan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa gugatan sederhana merupakan suatu gugatan perdata yang akan diselesaikan dengan prosedur dan pembuktian yang sederhana. Adapun, pengajuan gugatan sederhana tersebut harus memenuhi persyaratan tertentu, baik persyaratan yang berkaitan dengan ruang lingkup sengketa maupun persyaratan yang berkaitan dengan para pihak yang terlibat dalam gugatan sederhana.
Dasar Hukum:
- Peraturan Mahkamah Agung R.I., No. 2 Tahun 2015, Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana.
- Peraturan Mahkamah Agung R.I., No. 4 Tahun 2019, Perubahan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana.
Referensi:
[1] Dudung Hidayat, Small Claim Court (SCC): Implementasi dan Hambatannya dalam Penyelesaian Sengketa Perdata, 5 Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia. 47, 50 (2023).
[2] Peraturan Mahkamah Agung R.I., No. 2 Tahun 2015, Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana, Pasal 5 ayat (3).
[3] Peraturan Mahkamah Agung R.I., No. 2 Tahun 2015, Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana, Pasal 27.
[4] Shifa Adinatira Haviyani, Penyelesaian Gugatan Sederhana sebagai Pelaksanaan Asas Peradilan Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan untuk Mewujudkan Access to Justice, 9 Jurnal Verstek. 650, 654 (2021).
[5] Id., pada 655.
[6] Kuasa insidentil adalah pemberian kuasa kepada selain advokat atau pengacara untuk mewakili kepentingan pihak tertentu. Penerima kuasa insidentil dapat saja mereka yang mendapat kuasa insidentil yang ditetapkan oleh ketua pengadilan untuk mewakili pihak tertentu. Misalnya Lembaga Bantuan Hukum (LBH), hubungan keluarga, Biro Hukum untuk perkara-perkara yang menyangkut TNI/Polri. Adapun, pemberian kuasa insidentil dengan alasan hubungan keluarga, baik sedarah atau semenda dapat diterima sampai dengan derajat ketiga, yang dibuktikan surat keterangan kepala desa/lurah. (Lihat Mahkamah Agung R.I., Buku II: Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus, Ed. 2007, 2008).
[7] Peraturan Mahkamah Agung R.I., No. 4 Tahun 2019, Perubahan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana, Pasal I angka 3.