Dari Panggung Ke Layar: Hak Cipta Dalang Dalam Pertunjukan Wayang Kulit di Indonesia
Narasumber: Vania Irawan, S.H., M.H.
1. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan negara yang memiliki beragam suku bangsa, budaya, adat istiadat, dan bahasa. Keragaman tersebut juga membuat Indonesia menjadi negara yang unik dibandingkan dengan negara lainnya. Banyaknya suku bangsa, budaya, adat istiadat, dan bahasa merupakan salah satu kelebihan dan keunikan yang dimiliki oleh Indonesia dibandingkan dengan negara lainnya. Salah satu aspek penting yang perlu dipertahankan, dilestarikan, dan dilindungi adalah pengetahuan tradisional (traditional knowledge) dan ekspresi budaya tradisional (traditional cultural expressions/expression of folklore). Pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional (PT EBT) sangat berkaitan erat dengan Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI). Pengetahuan tradisional berkaitan dengan paten sedangkan ekspresi budaya tradisional berkaitan dengan hak cipta.
Ruang lingkup ekspresi budaya tradisional dirumuskan dalam penjelasan Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (selanjutnya disebut UUHC). Pertunjukan wayang juga merupakan salah satu ciptaan yang dilindungi seperti yang dirumuskan dalam Pasal 40 ayat (1) huruf e, bahwa :
“(1) Ciptaan yang dilindungi meliputi Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, terdiri atas : … e. drama, drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim,”
Dapat disimpulkan bahwa selain sebagai salah satu bentuk EBT, pertunjukan wayang juga merupakan ciptaan yang dilindungi sehingga memungkinkan bahwa pemegang hak cipta atas pertunjukan wayang adalah bukan negara (tidak seperti yang diatur dalam Pasal 38 ayat (1) UU HC) dan pemegang hak cipta juga memiliki hak eksklusif berupa hak moral dan hak ekonomi yang dilindungi oleh negara.
Pertunjukan wayang yang menjadi topik dalam artikel ini adalah pertunjukan wayang kulit. Dalam sebuah pertunjukan wayang kulit, terdapat beberapa unsur penting yaitu dalang, niyaga (penabuh gamelan), dan waranggana (pasindhèn). Dalang merupakan seseorang yang memainkan wayang kulit dalam sebuah pertunjukan wayang kulit dan ia juga memiliki tugas untuk mengatur jalannya pertunjukan wayang secara menyeluruh. Dalang juga merupakan pemain watak atau karakter, penata pentas, penata musik, penata gending, penyanyi, lagu atau suluk, pemimpin instrumen gamelan, sutradara, dan pemimpin sebuah grup wayang kulit.
Oleh karena itu dalang memiliki tugas dan tanggung jawab yang sangat besar, sehingga ia sangat dihormati.[1] Niyaga atau penabuh gamelan memiliki peran untuk membantu dalang dalam mengiringi pertunjukan wayang, sehingga jalannya pertunjukan jadi lebih hidup. Niyaga selalu menjadi pimpinan karawitan. Waranggana atau pasindhèn memiliki peran sebagai pelantun tembangtembang yang disesuaikan dengan jalan cerita atau lakon wayang. Perannya yang lain adalah sebagai pengisi suasana agar lebih semarak, akrab, dan menarik, serta mengantarkan suasana pagelaran yang komprehensif.[2]
Sejak terjadi pandemi Covid-19 dan terdapat ketentuan mengenai PSBB, pertunjukan wayang sempat terhenti selama berbulan-bulan dan beralih menjadi pertunjukan wayang kulit virtual yang ditayangkan melalui Youtube. Para seniman pertunjukan wayang kulit mau tidak mau beradaptasi dengan keadaan tersebut. Media daring merupakan satu-satunya cara bagi seniman pertunjukan wayang dan masyarakat untuk menonton pertunjukan virtual selama pandemi. Selain metode pertunjukan yang beralih menjadi virtual, aspek lain yang terdampak dari pandemi Covid-19 adalah pendapatan yang diperoleh oleh para pelaku pertunjukan wayang juga menurun. Hal tersebut karena berkurangnya pertunjukan secara non visual.[3]
Dari beberapa penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga rumusan masalah yang perlu diteliti dan dibahas mengenai perlindungan pertunjukan wayang kulit secara virtual melalui Youtube, yaitu mengenai kedudukan dari pertunjukan wayang kulit itu sendiri, baik sebagai ciptaan maupun ekspresi budaya tradisional. Lalu mengenai kedudukan dalang dalam pertunjukan wayang, baik sebagai pencipta, pemegang hak cipta, maupun pelaku pertunjukan. Terakhir, mengenai tindakan yang dapat dilakukan oleh dalang apabila terjadi pelanggaran atas video pertunjukan wayang kulit baik yang diunggah maupun yang ditayangkan secara live di Youtube. Tindakan tersebut didasarkan pada ketentuan Youtube dan dibandingkan dengan UUHC.
B. METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah yuridis normatif agar menghasilkan penelitian yang bersifat preskriptif yaitu penelitian yang memberikan pedoman atau panduan mengenai hal-hal yang seharusnya dilakukan ketika menghadapi permasalahan-permasalahan tertentu. Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Bahan hukum primer yang peneliti gunakan adalah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Bahan hukum sekunder yang peneliti gunakan berupa buku teks, artikel dalam jurnal ilmiah yang berisi mengenai hak cipta dalam pertunjukan wayang dan ketentuan hak cipta dalam platform Youtube, dan kamus berupa Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Black’s Law Dictionary, dan Tesaurus Bahasa Indonesia.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan cara penelitian kepustakaan (Library Research). Penelitian kepustakaan yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka. Teknik yang digunakan untuk menganalisis data penelitian ini adalah dengan cara melakukan seleksi data hasil penelitian secara sistematis, yang dilakukan secara logis, dengan mencari keterkaitan antara bahan hukum yang satu dengan bahan hukum lainnya untuk mendapatkan gambaran umum dari hasil penelitian.[4]
2. HASIL PENELITIAN
A. PERTUNJUKAN WAYANG KULIT SEBAGAI EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL (EBT) DAN CIPTAAN
Ekspresi folklor atau sekarang lebih dikenal dengan EBT, pertama kali diatur dalam Model Ketentuan bagi Perundangan Nasional tentang Perlindungan Ekspresi Folklor dari Eksploitasi Melawan Hukum dan Tindakan-Tindakan Merugikan Lainnya (Model Provisions for National Laws on the Protection of Expressions of Folklore Against Illicit Exploitation and Other Prejudicial Actions). Model ketentuan tersebut dibuat oleh WIPO bersama dengan UNESCO pada tahun 1982. Dalam perkembangannya, WIPO merumuskan terminologi lain dari ekspresi folklor yaitu ekspresi budaya tradisional (EBT) atau traditional cultural expressions (TCE). Pengertian mengenai EBT selalu menjadi pembahasan setiap pertemuan dalam Komite Antarnegara WIPO untuk Kekayaan Intelektual dan Sumber-Sumber Genetika, Pengetahuan Tradisional, dan Folklor (Intergovernmental Committee on Intellectual Property and Genetic Resources, Traditional Knowledge and Folklore).
Dalam pertemuan terakhir (WIPO/GRTKF/IC/42/INF/7) yang dilakukan secara hybrid pada 28 Februari sampai 4 Maret 2022, terdapat rumusan mengenai definisi dari TCEs yaitu :[5]
“…refer to tangible and intangible forms in which traditional knowledge and cultures are expressed, communicated or manifested. Examples include traditional music, performances, narratives, names and symbols, designs and architectural forms…”
(terjemahan bebas : “… mengacu pada bentuk berwujud (nyata) dan tidak berwujud di mana pengetahuan dan budaya tradisional diekspresikan, dikomunikasikan atau dimanifestasikan. Contohnya termasuk musik tradisional, pertunjukan, narasi, nama dan simbol, desain dan bentuk arsitektur.).
Selain memenuhi kriteria WIPO sebagai suatu EBT, pertunjukan wayang kulit juga dinyatakan sebagai Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity pada 7 November 2003. Lalu pada 2008, pertunjukan wayang secara tertulis ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda (intangible) dunia oleh UNESCO. Pernyataan dan penulisan tersebut didasarkan pada Article 2 (1) dalam Konvensi Perlindungan Warisan Budaya Tak Benda (Convention for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage), yang dirumuskan sebagai berikut :[6]
“The intangible cultural heritage means the practices, representations, expressions, knowledge, skills – as well as the instruments, objects, artefacts and cultural spaces associated therewith – that communities, groups and, in some cases, individuals recognize as part of their cultural heritage. This intangible cultural heritage, transmitted from generation to generation, is constantly recreated by communities and groups in response to their environment, their interaction with nature and their history, and provides them with a sense of identity and continuity, thus promoting respect for cultural diversity and human creativity…”
Dari rumusan pasal di atas, dapat dilihat bahwa kriteria yang harus dipenuhi untuk warisan budaya tak benda adalah diteruskan dari satu generasi ke generasi lainnya, terus diperbarui oleh komunitas atau kelompok atas tanggapan mereka terhadap lingkungan, interaksi dengan alam dan sejarah, dan memberikan rasa identitas dan kontinuitas, sehingga mendorong penghormatan terhadap budaya yang beraneka ragam dan kreativitas manusia. Oleh karena pertunjukan wayang ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda, maka pertunjukan wayang juga telah memenuhi kriteria-kriteria di atas.
Lalu, bagaimana dengan pengaturan mengenai pertunjukan wayang sebagai EBT di Indonesia? Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UUHC), pertunjukan wayang dikategorikan sebagai salah satu EBT dalam penjelasan Pasal 38 ayat (1) UUHC. Selain itu, negara juga mengambil peran sebagai pemegang hak cipta atas EBT, yang artinya pertunjukan wayang kulit sebagai EBT dipegang hak ciptanya oleh negara tanpa batas waktu (selamanya).[7]
Menurut OK. Saidin, yang dimaksud atas hak cipta dipegang oleh negara adalah untuk memberikan perlindungan terhadap objek hak cipta yang berada di bawah ancaman kepunahan. Terutama kemungkinan adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh orang-orang tidak bertanggung jawab, pada saat pengalihan kepada pihak asing. Warga negara asing hanya bisa melakukan perbanyakan atau pengumuman ciptaan setelah mendapatkan izin dari instansi pemerintah terkait.[8]
Dari beberapa uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pertunjukan wayang kulit dinyatakan sebagai EBT karena telah memenuhi kriteria yang diberikan oleh WIPO dan UNESCO. Selain itu, dalam UUHC juga telah diatur dan ditentukan bahwa pertunjukan wayang termasuk ke dalam kategori EBT. Negara sebagai pemegang hak cipta atas EBT memiliki tujuan untuk menjaga, memelihara, dan juga menginventarisasi. Apabila EBT termasuk ke dalam public domain[9], maka kemungkinan potensi penyalahgunaan akan semakin besar karena tidak adanya perlindungan.
Penulis sendiri memiliki pendapat mengenai maksud dari pertunjukan wayang sebagai EBT, yaitu pertunjukan wayang yang memang masih mengandung unsur-unsur tradisional seperti menggunakan pakem lama, terdapat semua unsur-unsur dalam pertunjukan wayang, lakon yang digunakan adalah Ramayana dan Mahabrata atau cerita-cerita tentang kerajaan, diteruskan secara turun temurun, sudah tidak diketahui siapa penciptanya atau sekalipun ada pasti sudah lama meninggal sehingga memiliki potensi untuk disalahgunakan oleh pihak asing. Salah satu contoh dari pertunjukan wayang sebagai EBT adalah pertunjukan wayang kulit purwa. Hal tersebut karena wayang kulit purwa memenuhi kriteria sebagai EBT dan merupakan wayang kulit yang paling tua di Indonesia. Pakem, lakon, dan tata cara untuk melakasanakan pertunjukan wayang purwa diteruskan dari generasi ke generasi. Selain itu, pencipta dari wayang kulit purwa sudah lama meninggal (ratusan tahun lamanya) dan cukup sulit untuk melacak keturunan dari pencipta tersebut.
Dalam UUHC selain sebagai EBT, pertunjukan wayang (atau dalam UUHC disebut sebagai pewayangan) juga termasuk ke dalam ciptaan. Hal tersebut diatur dalam Pasal 40 ayat (1) huruf e UUHC. Tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai maksud dari pertunjukan wayang sebagai suatu ciptaan di dalam UUHC. Sebagai suatu ciptaan, maka pertunjukan wayang juga harus memenuhi standar perlindungan hak cipta, yaitu :[10]
1) Orisinalitas (originality) Maksudnya adalah suatu ciptaan tidak harus baru atau unik (bisa sesuatu yang sudah umum). Meskipun ciptaan tersebut telah ada sebelumnya atau sudah menjadi domain publik, ciptaan tersebut tetap dikatakan orisinal.
2) Kreativitas (creativity) Sebagai standar untuk menentukan tingkat keaslian suatu ciptaan. Meskipun suatu ciptaan menyalin persis seperti ciptaan sebelumnya dapat dianggap tidak asli, namun apabila terdapat kreativitas dari si pencipta dalam karyanya maka kreativitas tersebut menunjukan bahwa karya tersebut asli.
3) Perwujudan (fixation) Maksudnya adalah suatu karya yang diwujudkan dalam bentuk media ekspresi yang nyata (benda), misalnya dalam bentuk salinan atau rekaman suara yang dilakukan oleh atau di bawah kewenangan pencipta, secara permanen dan stabil sehingga memungkinkan untuk dilihat, direproduksi, atau dikomunikasikan dengan cara lain selama jangka waktu tertentu.
Pertunjukan wayang kulit sebagai ciptaan dapat dilihat dalam pertunjukan wayang kulit kontemporer yang menggabungkan antara aspek tradisi dengan modern. Menurut Miguel Escobar Varela dalam disertasinya, wayang kontemporer menawarkan atau memberikan respon kreatif atas isu-isu atau pertanyaan-pertanyaan manusia modern terutama anak-anak muda.[11] Isu atau pertanyaan mengenai bagaimana mempresentasikan diri sendiri di depan teman dan keluarga baik secara online maupun saat bertemu secara langsung?, bagaimana menghadapi hubungan emosional?, bagaimana caranya berbicara dan bahasa apa yang harus dipakai?, dan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang sering dihadapi oleh anak-anak muda dalam era modern. Menurut Miguel, wayang kontemporer memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut melalui kata-kata, yang digunakan dalam pertunjukan wayang, lakon yang dibawakan, musik yang dimainkan dan melalui wayang yang dibuat.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa suatu pertunjukan wayang dianggap sebagai wayang kontemporer apabila terdapat aspek modern di dalamnya, baik seluruh maupun sebagian, atau menggabungkan dua atau lebih kesenian tradisional sehingga terciptanya pertunjukan wayang yang baru (ada ‘eksperimen’ atau hal yang belum pernah ada sebelumnya). Lalu adanya ‘perubahan’ posisi atau kedudukan dari dalang itu sendiri di mana mereka diberikan kebebasan untuk berkreasi dengan seniman-seniman lainnya tanpa dibatasi oleh tradisi.
Contoh pertunjukan wayang kontemporer lainnya adalah Wayang Hip-Hop yang merupakan hasil kolaborasi antara Ki Catur “Benyek” Kuncoro dengan beberapa musisi dan penari.[12] Dalam pertunjukan Wayang Hip-Hop, iringan lagu yang biasanya dibawakan dengan gamelan digantikan dengan musik yang diputar melalui laptop (secara digital) dan penyanyi live. Musik yang digunakan juga bukan merupakan tembang tradisional Jawa, namun gabungan antara musik hip hop, dangdut, dan musik rap. Selain berkolaborasi dengan beberapa musisi dan penari, Catur Kuncoro juga berkolaborasi dengan seniman visual (visual artists) dan penulis modern.
B. DALANG SEBAGAI PENCIPTA, PEMEGANG HAK CIPTA, MAUPUN PELAKU PERTUNJUKAN
Berdasarkan Pasal 1 angka 2 UUHC, pencipta merupakan “seorang atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama menghasilkan suatu ciptaan yang bersifat khas dan pribadi”. Maksud dari ciptaan yang bersifat khas dan pribadi adalah ciptaan yang memang memiliki ciri khas dari pribadi pencipta (sesuai keinginan dari pencipta) sehingga pada saat orang lain melihat ciptaan tersebut, langsung mengingatkannya kepada pencipta.
Dalam kaitannya dengan dalang sebagai pencipta dalam sebuah pertunjukan wayang kulit, maka dalang memiliki hak ekonomi untuk melakukan Penggandaan[13] ciptaan (dalam hal ini pertunjukan wayang kulit), Pertunjukan, Pengumuman[14], dan Komunikasi[15] ciptaan. Dalang dapat melakukan atau memberikan izin untuk melakukan penggandaan ciptaan apabila pertunjukan wayang kulit dilakukan langsung atau live performance. Hal tersebut dirumuskan dalan Penjelasan Pasal 9 ayat (1) huruf b, bahwa :
“Huruf b Termasuk perbuatan Penggandaan diantaranya perekaman menggunakan kamera video (camcorder) di dalam gedung bioskop dan tempat pertunjukan langsung (live performance)”
Selain melakukan perekaman atas pertunjukan langsung (live performance), Penggandaan juga bisa dilakukan dengan melakukan screen record pada pertunjukan wayang secara virtual, misalnya pada saat live streaming.
Dalam hal menentukan kedudukan dalang, terdapat dua keadaan dimana dalang sebagai pencipta. Pertama, pertunjukan wayang kulit yang dibawakan merupakan ciptaan dalang (nama dalang dicantumkan sebagai pencipta atau terdapat frasa “diciptakan oleh dalang…”). Dalang tidak harus menciptakan seluruh unsur-unsur yang ada dalam pertunjukan wayang kulit, ia bisa saja berkolaborasi atau bekerjasama dengan seniman lainnya. Dalang bisa saja menjadi pencipta salah satu unsur dalam pertunjukan wayang kulit, misalnya menciptakan musik atau lagu dalam pertunjukan wayang, menciptakan lakon yang diwujudkan dalam pertunjukan wayang kulit, menciptakan tata cara mengenai bagaimana ia membawakan pertunjukannya atau bahkan menciptakan tokoh baru dalam wayang kulit.
Kedua, pertimbangan dalang sebagai pencipta adalah ketika ia menghimpun ciptaan-ciptaan lainnya dari beberapa pencipta yang kemudian disatukan dan dibentuk menjadi pertunjukan wayang atau dengan kata lain melakukan kolaborasi. Dasar hukumnya adalah Pasal 33 ayat (2) UUHC, bahwa :
“(2) Dalam hal Orang yang memimpin dan mengawasi penyelesaian seluruh Ciptaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ada, yang dianggap sebagai Pencipta yaitu Orang yang menghimpun Ciptaan dengan tidak mengurangi Hak Cipta masing-masing atas bagian Ciptaannya.”
Dari rumusan pasal di atas dapat dilihat bahwa dalam pertunjukan wayang kulit tidak ada yang memiliki posisi sebagai pemimpin atau pengawas pertunjukan, seperti sutradara. Baik dalang maupun wirasuara, sinden, atau penampil lain yang ada dalam pertunjukan memiliki kedudukan yang sama (tidak ada hierarki kedudukan).
Oleh karena itu, dalang sebagai pencipta dalam hal ini adalah ketika ia mengumpulkan beberapa ciptaan menjadi ciptaan baru berupa pertunjukan wayang kulit, namun tanpa mengurangi hak cipta masing-masing atas bagian ciptaan yang dikumpulkan tersebut. Adanya acknowledgement atau pengakuan terhadap ciptaan-ciptaan yang dikumpulkan tersebut atau adanya pembayaran royalti, merupakan salah satu pemenuhan hak cipta terhadap pencipta lainnya yang ciptaannya dikumpulkan.
Pada dasarnya pencipta juga merupakan pemegang hak cipta. Namun yang membedakan adalah mengenai kepemilikan hak moral. Pencipta bisa saja merupakan pemegang hak cipta, namun pemegang hak cipta belum tentu pencipta. Pemegang hak cipta yang merupakan pencipta memiliki hak moral dan hak ekonomi. Namun pemegang hak cipta yang bukan pencipta, maka ia tidak memiliki hak moral seperti pencipta, hanya memiliki hak ekonomi yang didapatkan apabila ada pengalihan hak cipta.
Berdasarkan Pasal 1 angka 4 UUHC, yang dimaksud dengan pemegang hak cipta adalah “pencipta sebagai pemilik hak cipta, pihak yang menerima hak tersebut secara sah dari pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut secara sah.” Dari rumusan pasal tersebut bahwa terdapat tiga pihak yang memungkinkan menjadi pemegang hak cipta yaitu pencipta itu sendiri, pihak yang diberikan hak dari pencipta secara sah, atau pihak yang mendapatkan hak dari pencipta secara sah, memberikan hak tersebut kepada pihak lain.
Apabila melihat pada UUHC, maka hak-hak ekonomi yang dimiliki oleh pemegang hak cipta sama dengan pencipta. Pemegang hak cipta dapat memiliki hak ekonomi atas peralihan hak cipta (seluruh atau sebagian) dengan cara sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 16 ayat (2) UUHC. Pemegang hak cipta juga tetap memiliki hak ekonomi apabila ia tidak mengalihkan seluruh hak ekonomi (mengalihkan sebagian) kepada pihak lain sebagai penerima pengalihan hak atas ciptaan. Alasan adanya peralihan hak cipta adalah karena didasari kebutuhan praktis pencipta untuk dapat memanfaatkan ciptaannya sendiri dan pencipta dalam posisi tidak memungkinkan untuk memenuhi hal tersebut. Selain itu, dengan adanya peralihan hak cipta memudahkan pencipta untuk mengelola hak serta kewajiban yang berkaitan dengan ciptaan.[16]
Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa dalang termasuk ke dalam pemegang hak cipta yang juga merupakan pencipta. Namun tidak menutup kemungkinan kedudukannya sebagai pemegang hak cipta yang memperoleh haknya dari pencipta atau dari pihak lain secara sah.
Hak terkait atau neighboring rights melindungi kepentingan hukum dari orang dan badan hukum tertentu yang berkontribusi untuk membuat karya cipta di bawah hak cipta sehingga tersedia untuk masyarakat.[17] Secara tradisional, hak terkait diberikan kepada tiga kategori penerima manfaat yaitu pelaku (performers), produser rekaman suara atau fonogram (producers of sound recordings or phonograms), dan organisasi penyiaran (broadcasting organizations).[18]
Salah satu hak terkait yang menjadi fokus utama dalam subab ini adalah pelaku pertunjukan (performers). Pelaku pertunjukan memegang aspek penting terutama bagi ciptaan yang ‘berwujud’ atau ‘ada’ ketika ciptaan tersebut dipentaskan seperti salah satunya adalah pertunjukan wayang. Pelaku pertunjukan tidak hanya sekedar mempertunjukkan ciptaan namun membuat ciptaan menjadi lebih ‘hidup’ dan nyata.
Menurut WIPO, pelaku pertunjukan diakui haknya karena intervensi kreatif mereka dibutuhkan untuk memberikan ‘kehidupan’ bagi karya cipta seperti karya film, musik, drama, dan juga adanya kepentingan yang dapat dibenarkan dari interpretasi individual mereka.[19]
Pasal 21 UUHC mengatur mengenai hak moral yang dimiliki oleh pelaku pertunjukan yang melekat dan tidak bisa dihilangkan atau dihapus dengan alasan apapun meskipun telah ada pengalihan hak ekonomi. Selanjutnya, dalam Pasal 22 dirumuskan mengenai macam-macam hak moral yang dimiliki oleh pelaku pertunjukan yaitu “hak untuk pencantuman nama pelaku pertunjukan kecuali disetujui sebaliknya; dan tidak dilakukan distorsi ciptaan, mutilasi ciptaan, modifikasi ciptaan, atau hal-hal yang bersifat merugikan kehormatan diri atau reputasi kecuali disetujui sebaliknya.” Kemudian Pasal 23 UUHC mengatur megenai hak ekonomi yang dimiliki oleh pelaku pertunjukan, khususnya dalam ayat (2).
Dalam kaitannya dengan dalang sebagai pelaku pertunjukan, maka ia memiliki hak moral dan hak ekonomi seperti yang telah diuraikan di atas. Dalang sebagai pelaku pertunjukan memiliki hak yang sama dengan wirasuara, sinden, dan niyaga dalam pertunjukan wayang kulit.[20] Mereka membuat pertunjukan wayang kulit menjadi ‘hidup’. Meskipun dalam pertunjukan wayang kulit kontemporer, peran wirasuara, sinden, atau niyaga dapat digantikan dengan musik atau lagu yang sebelumnya telah ada atau telah direkam, namun mereka tetap merupakan pelaku pertunjukan. Selama mereka berkontribusi dalam pertunjukan wayang kulit, maka mereka tetap memiliki hak terkait sebagai pelaku pertunjukan.
Apabila dalang berkedudukan sebagai pencipta maka ia juga bisa berkedudukan sebagai pelaku pertunjukan namun tidak untuk sebaliknya. Mengapa demikian? karena dalang yang sekaligus sebagai pencipta biasanya juga ikut andil dalam pertunjukan wayang kulit (sebagai pelaku pertunjukan). Berbeda dengan dalang yang hanya sebagai pelaku pertunjukan saja, ia hanya menampilkan pertunjukan wayang kulit yang diciptakan oleh orang lain.
Dalang menjadi pelaku pertunjukan ketika ia menjalani lakonnya untuk menggerakan wayang, memberi dialog, dan narasi pada saat pementasan. Kemudian, niyaga sebagai pelaku pertunjukan karena ia memiliki tugas sebagai pemusik yang menggunakan gamelan sekaligus sebagai backing vocal untuk pasinden, wirasuara atau dalang. Terakhir, pasinden dan/atau wirasuara sebagai pelaku pertunjukan karena ia memiliki tugas sebagai penyanyi atau pelantun tembang selama pertunjukan wayang berlangsung. Antara dalang, niyaga, dan pasinden atau wirasuara harus kompak dalam membawakan pertunjukan wayang.
Dalang yang hanya berkedudukan sebagai pelaku pertunjukan, dapat dilihat dalam pertunjukan wayang kulit purwa karena seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa pertunjukan wayang kulit purwa merupakan EBT di mana hak cipta dipegang oleh negara dan bahkan tidak diketahui siapa penciptanya. Sehingga pada saat terdapat pertunjukan wayang kulit purwa yang memang merupakan EBT, maka dalang yang membawakan pertunjukan wayang tersebut berkedudukan sebagai pelaku pertunjukan. Sedangkan dalang sebagai pencipta sekaligus pelaku pertunjukan dapat dilihat dalam beberapa pertunjukan wayang kulit kontemporer seperti contoh yang telah dijelaskan yaitu pertunjukan wayang kulit hip-hop.
C. PERLINDUNGAN HAK CIPTA TERHADAP DALANG ATAS POTENSI PELANGGARAN PERTUNJUKAN WAYANG SECARA VIRTUAL MELALUI YOUTUBE
Perkembangan zaman dan teknologi yang semakin maju terutama dalam dunia digital membawa pengaruh salah satunya bagi penyebaran ciptaan yang semakin mudah dan semakin cepat. Salah satu contoh dari perkembangan tersebut adalah adanya Youtube sebagai sarana bagi pengguna untuk menggunggah video. Pengguna atau users, penonton atau viewers Youtube yang cukup besar dan adanya algoritma Youtube[21], membuat banyak orang dan salah satunya adalah para seniman pertunjukan wayang kulit tertarik untuk melakukan live streaming atau mengunggah video pertunjukan wayang kulit di Youtube.
Penggunaan platform Youtube oleh para seniman pertunjukan wayang kulit juga membawa dampak positif dan negatif. Dampak positifnya adalah adanya kesempatan besar untuk mempromosikan pertunjukan wayang kulit sekaligus memperkenalkan budaya asli Indonesia kepada masyarakat global. Selain itu, para seniman pertunjukan wayang kulit juga dapat melakukan monetisasi atas video yang mereka unggah (adanya pendapatan atas video yang diunggah). Lalu, dampak negatifnya adalah kemungkinan adanya penyebaran video pertunjukan wayang tanpa izin.
Youtube merupakan satu dari beberapa situs web berbagi video yang memiliki banyak pelanggaran hak cipta. Meskipun Youtube telah memiliki Content ID dan tersedianya formulir untuk mengajukan klaim atas hak cipta sebagai pencegahan pelanggaran hak cipta. Namun hal tersebut tidak menutup kemungkinan atas besarnya dan banyaknya pelanggaran hak cipta atas video yang diunggah ke Youtube. Sayangnya, Content ID mendapatkan banyak kritik baik oleh video streamers maupun pemilik hak cipta karena tingginya high false positives yaitu secara keliru menghapus video yang diunggah secara legal dan false negatives yaitu secara konstan melewatkan video yang melanggar hak cipta (jadi video tersebut tidak di take down atau dihapus oleh Youtube).
Pada hakikatnya, pelanggaran hak cipta yang banyak terjadi bersinggungan dengan hak ekonomi pencipta atau pelaku pertunjukan. Misalnya seperti penggandaan, pendistribusian dan tindakan lainnya yang dilakukan tanpa izin dari pencipta atau pelaku pertunjukan. Dalam hal live streaming dengan encoder atas pertunjukan wayang kulit, terdapat potensi pelanggaran hak cipta maupun hak terkait.
Salah satu pelanggaran adalah mengenai perekaman atas live streaming pertunjukan wayang kulit yang dilakukan pihak lain (dalam hal ini bisa saja penonton live streaming) atau screen recording[22]. Jadi pada saat live streaming pertunjukan wayang kulit berlangsung, penonton tersebut melakukan screen recording melalui perangkat apapun baik melalui laptop, komputer, tablet atau smartphone. Tindakan tersebut diatur dalam Pasal 23 ayat (2) huruf b UUHC yaitu “fiksasi dari pertunjukannya yang belum difiksasi.” Dalam melakukan tindakan tersebut, perlu adanya izin dari pelaku pertunjukan. Persetujuan tersebut juga perlu diperjelas apakah hasil rekaman tersebut disimpan untuk koleksi pribadi atau untuk dibagikan atau diunggah kembali ke Youtube atau bahkan dimonetisasi.
Dalam kaitannya dengan pertunjukan wayang kulit secara virtual melalui Youtube, terdapat beberapa tindakan yang dapat dilakukan oleh dalang untuk melindungi hak cipta dan hak terkait yang ia miliki, antara lain :
1) Mendapatkan Content ID
Content Identification atau Content ID merupakan suatu sistem otomatis yang disediakan secara gratis oleh Youtube yang dapat digunakan oleh pemilik hak cipta untuk mengatur konten miliknya. Cara kerja dari sistem Content ID adalah seperti ini :[23]
a. Pemilik hak cipta mengirimkan file referensi berupa audio atau visual dan metadata dari konten miliknya ke Youtube sehingga karyanya dapat diidentifikasi;
b. Kemudian, database Content ID akan membuat ‘sidik jari’ dari file tersebut dan disimpan di database.
c. Content ID kemudian akan membandingkan video-video yang baru diunggah maupun yang sudah lama diunggah oleh pengguna atau user-generated content (UGC) berdasarkan file referensi tersebut.
d. Apabila ditemukan kecocokan antara file referensi audio atau visual dengan video di Youtube, maka Youtube memberikan tiga pilihan yang sebelumnya telah ditentukan oleh pemilik hak cipta yaitu memblokir video, memonetisasi video, atau melacak data penonton.
Namun tidak semua konten dari pemilik hak cipta dapat diberikan Content ID. Terdapat beberapa syarat untuk menilai apakah pemilik hak cipta dapat melakukan klaim atas kontennya melalui Content ID atau tidak. Syarat-syarat tersebut antara lain, terdapat bukti konten berhak cipta yang wajib diberikan oleh pemilik hak cipta, hak eksklusif atas konten tersebut dipegang dan diatur oleh pemilik hak cipta, dan tidak memuat konten-konten yang tidak bersifat eksklusif.[24] Apabila pemilik hak cipta berhasil mendapatkan Content ID, maka terdapat perjanjian yang harus diselesaikan dan dalam perjanjian tersebut secara tegas dinyatakan bahwa hanya konten dengan hak eksklusif yang dapat digunakan sebagai referensi.[25]
2) Melakukan Monetisasi
Salah satu ‘manfaat’ yang didapatkan dari Content ID adalah kreator dapat memilih dan menetapkan untuk melakukan monetisasi atas video miliknya. Untuk mendapatkan ‘hak monetisasi’, kreator harus tergabung dalam Program Partner Youtube (YPP) yang disediakan oleh Youtube sendiri. Program tersebut ditujukan untuk kreator agar mereka memiliki akses yang lebih luas untuk referensi dan fitur monetisasi. Program tersebut juga memungkinkan pembagian hasil dari iklan.
Kreator yang ingin mengajukan monetisasi atas kontennya, harus mendaftar dan diterima dalam program tersebut. Monetisasi di Youtube dapat dilakukan baik pada live stream maupun video yang diunggah. Syarat untuk bergabung dengan Program Partner Youtube antara lain, harus memiliki reputasi baik dalam artian kreator tidak mendapatkan teguran pedoman komunitas. Selain itu, kreator juga harus memenuhi semua kebijakan monetisasi channel Youtube yang terdiri dari pedoman komunitas, persyaratan layanan, kebijakan hak cipta Youtube, dan kebijakan program Google AdSense. Lalu, memiliki 1000 subscriber dan memiliki 4.000 jam waktu tonton publik yang valid dalam waktu 12 bulan.[26]
Menerapkan monetisasi dalam live streaming pertunjukan wayang kulit merupakan salah satu bentuk pemanfaatan hak ekonomi. Jadi meskipun pertunjukan wayang kulit dilakukan secara virtual melalui Youtube, dalang sebagai pencipta, pemegang hak cipta dan hak terkait tetap bisa mendapatkan uang atas hasil monetisasi.
Lalu apa hubungannya perlindungan atas konten dengan monetisasi video? Dengan melakukan monetisasi atas video, maka pemilik hak cipta tidak perlu khawatir hak ekonomi yang ia miliki tidak terpenuhi. Hal tersebut karena informasi mengenai besaran uang yang diperoleh dari hasil monetisasi langsung dikirimkan ke email yang dipakai sebagai akun Youtube dan dapat dicairkan kapanpun. Jadi secara tidak langsung hak ekonomi dari pemilik hak cipta tetap terlindungi dari penggunaan secara komersial tanpa persetujuannya.
3) Mengisi Formulir Web untuk Penghapusan karena Pelanggaran Hak Cipta
Penghapusan karena pelanggaran hak cipta dapat terjadi ketika pemilik hak cipta meminta Youtube untuk menghapus video. Pemilik hak cipta yang meminta penghapusan karena pelanggaran, harus mengirimkan pemberitahuan resmi kepada Youtube dengan semua persyaratan hukum yang telah terpenuhi. Salah satunya adalah dengan mengisi formulir di web yang telah disediakan oleh Youtube.
Apabila terdapat video yang dihapus karena pelanggaran hak cipta, kreator akan melihat kalimat “Video telah dihapus : Teguran hak cipta” di sebelah video tersebut. Terdapat tiga cara yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah tersebut yaitu, menunggu 3 bulan sampai masa berlaku habis, menghubungi pemilik hak cipta yang menghapus video dan meminta menarik kembali keluhannya, atau mengirimkan permintaan pemulihan apabila dirasa video dihapus karena adanya kekeliruan identifikasi. Jika kreator mendapatkan 3 teguran hak cipta dalam waktu 90 hari, maka akun Youtube miliknya akan diberhentikan.[27]
3. PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pertunjukan wayang yang dilindungi dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta termasuk ke dalam Ekspresi Budaya Tradisional (EBT) maupun ciptaan. Pertunjukan wayang termasuk ke dalam EBT sebagaimana diatur dalam Penjelasan Pasal 38 ayat (1) huruf d. Selain itu, Pertunjukan wayang juga telah memenuhi kriteria-kriteria WIPO sebagai EBT dan UNESCO sebagai warisan budaya tak benda (intangible cultural heritage). Contoh dari pertunjukan wayang kulit sebagai EBT adalah pertunjukan wayang kulit purwa. Kemudian, pertunjukan wayang juga termasuk ke dalam ciptaan karena telah memenuhi kriteria ciptaan yaitu karya atau ekspresi tersebut asli atau orisinal yang berasal dari inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, atau kreativitas seseorang atau kelompok dan diwujudkan dalam bentuk nyata. Contoh dari pertunjukan wayang kulit sebagai ciptaan adalah pertunjukan wayang kulit kontemporer.
Dalang dalam UUHC memiliki kedudukan sebagai pencipta, pemegang hak cipta, maupun pelaku pertunjukan. Terdapat dua keadaan di mana dalang berkedudukan sebagai pencipta yaitu pertama, apabila pertunjukan wayang merupakan ciptaan dalang. Lalu, kedua apabila dalang menghimpun ciptaan-ciptaan lainnya dari beberapa pencipta yang kemudian disatukan dalam sebuah pertunjukan wayang tanpa mengurangi hak cipta dari masing-masing pencipta tersebut. Keadaan kedua didasarkan pada Pasal 33 ayat (2) UUHC. Dalang dapat menjadi pemegang hak cipta yang merupakan pencipta, atau pemegang hak cipta yang mendapatkan pengalihan hak cipta dari pencipta atau dari pihak lain melalui pewarisan, wasiat, atau perjanjian tertulis. Kemudian yang terakhir adalah dalang juga bisa berkedudukan sebagai pelaku pertunjukan. Dalam hal ini, tidak hanya dalang saja namun juga wirasuara, sinden atau waranggana, dan niyaga. Perlu diperhatikan juga bahwa dalang bisa berkedudukan menjadi pencipta, pemegang hak cipta, maupun pelaku pertunjukan apabila ia membawakan dan mempertunjukkan pertunjukan wayang kulit ciptaannya sendiri.
Tindakan-tindakan yang dapat dilakukan oleh dalang apabila terjadi pelanggaran hak cipta atas video pertunjukan wayang kulit miliknya, baik pada video yang diunggah maupun live streaming pertunjukan wayang kulit adalah dengan mendapatkan Content ID. Hal tersebut dikarenakan untuk mendapatkan manfaat dari Content ID itu sendiri, diantaranya adalah memblokir video, memonetisasi video, dan melacak data penonton. Kemudian, tindakan yang kedua adalah menjadi Program Partner Youtube (YPP) untuk bisa memanfaatkan fitur monetisasi. Hal tersebut dapat dilakukan selain untuk mendapatkan manfaat ekonomi, namun juga secara tidak langsung dapat melindungi ciptaan. Terakhir, dengan mengisi formulir web untuk penghapusan karena pelanggaran hak cipta. Apabila terbukti bahwa terdapat pelanggaran hak cipta, maka si pelanggar akan mendapatkan teguran hak cipta, penangguhan atau bahkan penghentian channel.
B. SARAN
UUHC telah jelas mengatur mengenai hal-hal apa saja yang termasuk ke dalam ciptaan dan ekspresi budaya tradisional (EBT) dan kriteria dari ciptaan itu sendiri. Mungkin ke depannya penulis berharap agar kriteria-kriteria EBT lebih diperjelas lagi dan terdapat aturan yang jelas mengenai titik singgung antara ciptaan dan EBT.
Peraturan mengenai pencipta, pemegang hak cipta, dan pelaku pertunjukan juga sudah cukup jelas diatur dalam UUHC, baik yang berkaitan dengan hak moral maupun hak ekonomi. Namun, perlu ada penambahan pengaturan mengenai perlindungan hak pencipta, pemegang hak cipta, dan pelaku pertunjukan dalam dunia digital.
Peraturan Youtube mengenai hak cipta dan beberapa fitur maupun sistem yang dimiliki, sudah cukup melindungi kreator terutama pencipta sebagai kreator. Meskipun demikian, masih banyak kekurangan yang perlu diperbaiki terutama berkaitan dengan sistem Content ID.
Dasar Hukum:
- Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 266, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5599).
Referensi:
[1] Seni Budayaku, Unsur-Unsur Yang Berperan Dalam Pertunjukan Wayang Kulit, https://www.senibudayaku.com/2018/07/unsur-unsur-pertunjukan-wayang-kulit.html# diakses 15 Mei 2024
[2] Ibid.
[3] Rahmadi Fajar Himawan, Wayangan Dalam Bayang-Bayang COVID-19, https://www.insideindonesia.org/wayangandalam-bayang-bayang-covid-19 diakses 15 Mei 2024.
[4] Moh. Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), hlm. 63.
[5] World Intellectual Property Organization (WIPO), Intergovernmental Committee on Intellectual Property and Genetic Resources, Traditional Knowledge and Folklore, https://www.wipo.int/meetings/en/details.jsp?meeting_id=68408 diakses 17 Mei 2024.
[6] United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO), Text of the Convention for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage, https://ich.unesco.org/en/convention#art2 diakses 18 Mei 2024.
[7] Pasal 60 ayat (1) Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 266, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5599.
[8] OK Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights (Depok: PT. RajaGrafindo Persada, 2019), hlm. 241.
[9] Public domain atau Domain Publik adalah karya kreatif (dalam hal ini ciptaan) yang sudah tidak dilindungi lagi oleh HKI. Ciptaan tersebut menjadi milik umum dan bukan lagi dimiliki oleh pencipta. Semua orang dapat menggunakan karya yang sudah menjadi milik publik tanpa harus meminta izin namun tidak seorang pun dapat memiliki ciptaan tersebut. Umumnya suatu ciptaan menjadi domain publik ketika masa berlaku hak cipta telah berakhir; pemilik hak cipta gagal untuk memperbarui haknya; pemilik hak cipta ‘memberikan’ ciptaannya untuk publik yang berarti pemilik hak cipta sudah tidak memiliki haknya lagi; atau ciptaan tersebut tidak dilindungi oleh UUHC. Di Indonesia, suatu ciptaan menjadi domain publik ketika memenuhi poin pertama dan terakhir. Standford University, Welcome to the Public Domain, https://fairuse.stanford.edu/overview/public-domain/welcome/ diakses 25 Mei 2024.
[10] Rahmi Jened, Hukum Hak Cipta (Copyright’s Law) (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2014), hlm. 79.
[11] Miguel Escobar Varela, Wayang Kontemporer Innovations in Javanese Wayang (Disertasi Program Doktor Sastra Inggris National University of Singapore, Singapura, 2014), hlm. 26.
[12] Miguel Escobar Varela, Wayang Hip Hop: Java’s Oldest Performance Tradition Meets Global Youth Culture, Asian Theatre Journal (Vol. 31 No 2, September 2014), hlm. 481–504.
[13] Dalam Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta, Penggandaan adalah proses, perbuatan, atau cara menggandakan satu salinan ciptaan dan/atau fonogram atau lebih dengan cara dan dalam bentuk apapun, secara permanen atau sementara.
[14] Dalam Pasal 1 angka 11 UUHC, Pengumuman adalah pembacaan, penyiaran, pameran, suatu ciptaan dengan menggunakan alat apapun baik elektronik atau non elektronik atau melakukan dengan cara apapun sehingga suatu ciptaan dapat dibaca, didengar, atau dilihat orang lain.
[15] Dalam Pasal 1 angka 16 UUHC, Komunikasi adalah pentransmisian suatu ciptaan, pertunjukan, atau fonogram melalui kabel atau media lainnya selain penyiaran sehingga dapat diterima oleh publik, termasuk penyediaan suatu ciptaan, pertunjukan, atau fonogram agar dapat diakses publik dari tempat dan waktu yang dipilihnya.
[16] Henry Soelistyo, Hak Cipta Tanpa Hak Moral (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2011), hlm. 98.
[17]World Intellectual Property Organization (WIPO), Understanding Copyright and Related Rights (Jeneva: World Intellectual Property Organization, 2016), hlm. 27.
[18] Ibid.
[19] Ibid.
[20] Mereka bersama-sama disebut sebagai pelaku pertunjukan karena definisi pelaku pertunjukan dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta adalah seorang atau beberapa orang yang secara sendirisendiri atau bersama-sama menampilkan dan mempertunjukkan suatu ciptaan (dalam hal ini adalah pertunjukan wayang kulit).
[21] Magdalena Amelia Anur Septawati Waruwu, Memahami Cara Kerja Algoritma Youtube, https://www.qubisa.com/article/cara-kerja-algoritma-youtube diakses 30 Mei 2024.
[22] Secara umum, screen recording adalah sebuah cara untuk membagikan hasil tangkapan layar atau video, merekam dalam mode Window atau layar penuh, berbagi instruksi video sambil memungkinkan pengguna untuk melihat informasi secara visual dengan cara yang sama seperti yang dibagikan. E. Krauz, Benefits of Screen Recording, https://www.engadget.com/2016-09-29-benefits-of-screen-recording.html#:~:text=Screen recording is a way,same way as the sharer diakses 30 Mei 2024.
[23] Jordan Greenberger and Elizabeth Cohen, Youtube Monetization, Entertainment, Arts, and Sports Law Journal (Vol. 24, No. 3, November 2013), hlm. 36–38.
[24] Konten yang tidak bersifat eksklusif terdiri dari : mashup, “terbaik dari”, kompilaso, dan remix kreasi orang lain. Kemudian gameplay, visual software, cupilkan, musik dan/atau video dengan dan tanpa lisensi tanpa adanya eksklusivitas, dan rekaman pertunjukan seperti konser, acara, pidato, dan pementasan. Youtube, Memenuhi Syarat Untuk Content ID, https://support.google.com/youtube/answer/1311402 diakses 31 Mei 2024.
[25] Ibid.
[26] Youtube, Ringkasan & Persyaratan Kelayakan Program Partner YouTube, https://support.google.com/youtube/answer/72851?hl=id diakses 31 Mei 2024.
[27] Youtube, Perbedaan Antara Klaim Content ID Dan Penghapusan Karena Pelanggaran Hak Cipta, https://support.google.com/youtube/answer/7002106 diakses 1 Juni 2024.
Tersedia di: