Home / Uncategorized / Bahaya Praktik Peer to Peer Lending (Financial Technology) dalam Kaitannya dengan Kasus Peminjaman Uang untuk Melunasi Utang Lain

Bahaya Praktik Peer to Peer Lending (Financial Technology) dalam Kaitannya dengan Kasus Peminjaman Uang untuk Melunasi Utang Lain

Sebuah Materi Podcast “Bincang Hukum”

Narasumber : Erick Makmur – Relawan Lembaga Bantuan Hukum UNPAR

Teknologi finansial merupakan suatu sektor dalam dunia start-up yang difokuskan untuk memaksimalkan penggunaan teknologi terutama dalam mengubah atau mempercepat akses dalam layanan keuangan yang ada.[1] Salah satu dari wujud teknologi finansial adalah Peer to Peer Lending (yang selanjutnya disingkat P2P Lending) adalah sebuah metode baru yang memungkinkan seseorang peminjam dana melalui aplikasi atau situs mengajukan pinjaman tanpa agunan (jaminan).[2] Praktik P2P Lending diakumulasikan penyaluran pinjaman secara nasional pada Juni 2020 telah mencapai Rp113.460.000.000.000,00 (seratus tiga belas triliun empat ratus enam puluh juta rupiah).[3] Angka tersebut meningkat dari tahun 2018 yang angka penyaluran pinjaman hanya mencapai Rp22.000.000.000.000,00 (dua puluh dua triliun rupiah).[4] Hal ini menunjukkan minat masyarakat terdapat pinjaman online meningkat hanya kurun waktu 2 (dua) tahun.

Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan meningkatnya minat masyarakat baik dari pemberi pinjaman maupun peminjam untuk terlibat dalam dunia teknologi finansial terutama P2P Lending. Apabila dilihat dari pemberi pinjaman, P2P Lending dianggap sebagai salah satu sumber investasi. Hal ini dikarenakan kepastian dalam pendapatan dan yang didapatkan oleh pemberi pinjaman berasal dari suku bunga yang lebih tinggi dari platform investasi lain.[5] Selain itu, untuk prasyarat pinjaman online hanya 25% yang dibutuhkan dari pengajuan pada instansi perbankan.[6]  Adapun apabila dilihat dari sisi para peminjam P2P Lending, maka para peminjam dengan menggunakan P2P Lending  memiliki syarat administrasi yang cenderung lebih sederhana daripada perbankan secara konvensional. Salah satunya adalah pengajuan pinjaman tanpa agunan atau jaminan. Hal ini sungguh cocok bagi masyarakat yang tergolong pekerja, petani, nelayan, pengrajin, pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), atau bagi masyarakat yang butuh modal usaha cepat. [7]

Penyedia layanan P2P Lending telah diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Berdasarkan Pasal 7 Peraturan OJK Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (POJK tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Tekonologi Informasi) mengatur bahwa para pengusaha teknologi finansial wajib mendaftarkan layanan P2P Lending ke OJK.[8] Pada Juni 2020 terdapat 158 (seratus lima puluh delapan) P2P Lending yang telah terdaftar di OJK.[9] Akan tetapi, masih ada beberapa penyedia layanan P2P Lending yang masih bergerak secara ilegal. Pada tahun 2018 sampai 2020 terdapat 2.591 (dua ribu lima ratus sembilan puluh satu) layanan P2P Lending yang bergerak secara ilegal telah diblokir, khusus untuk Juni 2020 terdapat 105 layanan P2P Lending yang bergerak secara ilegal telah diblokir oleh Satuan Tugas Waspada Investasi (selanjutnya disingkat oleh SWI).[10]

Berdasarkan data dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta telah mencatatkan bahwa para penyedia layanan P2P Lending ilegal kerap melanggar hukum serta hak asasi manusia para peminjamnya. Adapun  14 (empat belas) hal yang dialami korban dari P2P Lending ilegal, sebagai berikut:[11]

  1. Bunga yang sangat tinggi dan tanpa batasan;
  2. Penagihan yang tidak hanya dilakukan pada peminjam atau kontak darurat yang disertakan oleh peminjam;
  3. Penyebaran data pribadi;
  4. Ancaman, fitnah, penipuan dan pelecehan seksual;
  5. Penyebaran foto dan informasi peminjam ke kontak yang ada pada gawai peminjam;
  6. Pengambilan hampir seluruh akses terhadap gawai peminjam;
  7. Kontak dan lokasi kantor penyelenggara aplikasi pinjaman online yang tidak jelas;
  8. Biaya admin tidak jelas;
  9. Aplikasi berganti nama tanpa pemberitahuan peminjam, sedangkan bunga pinjaman terus berkembang;
  10. Peminjam sudah membayar pinjamannya, namun pinjaman tidak hapus dengan alasan tidak masuk sistem;
  11. Aplikasi tidak bisa di buka bahkan hilang dari Appstore atau Playstore pada saat jatuh tempo pengembalian pinjaman;
  12. Penagihan dilakukan oleh orang yang berbeda-beda;
  13. Data Kartu Tanda Penduduk (KTP) dipakai oleh penyelenggara aplikasi pinjaman online untuk mengajukan pinjaman online di aplikasi lain; dan
  14. Virtual account pengembalian uang salah, sehingga bunga terus berkembang dan penagihan intimidatif terus dilakukan.

Selain itu, Penulis yang merupakan relawan dari Lembaga Bantuan Hukum “Pengayoman” Universitas Katolik Parahyangan (LBH “Pengayoman” UNPAR) di Kota Bandung sering mendapatkan aduan dari masyarakat bahwa bunga dari P2P Lending ilegal tersebut terlalu tinggi. Bunga tersebut mencapai lebih 40% dari utang pokok tambah dengan denda Rp50.000,00 (lima puluh ribu) perhari. [12] Selanjutnya, apabila peminjam tidak dapat membayar kewajibannya sesuai dengan waktu yang ditentukan, maka pelaku usaha P2P Lending akan menyebarkan terkait data pribadi, foto dan video milik peminjam kepada seluruh nomor kontak yang ada di handphone peminjam. Selain itu, pelaku usaha P2P Lending dapat melakukan fitnaan kepada peminjam dengan menggunakan kata-kata kasar pada saat penagihan.

Tentu cara-cara yang dilakukan oleh pelaku usaha P2P Lending ilegal tersebut dapat dijerat hukuman misalnya (a) untuk penyebaran data pribadi dapat dikaitkan pada Pasal 32 jo. Pasal 48 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Undang-Undang ITE), (b) Pengancaman dalam penagihan dapat melanggar Pasal 368 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 29 jo. Pasal 45 Undang-Undang ITE, (c) Penipuan dijerat Pasal 378 KUHP, (d) Fitnah dengan Pasal 311 ayat (1) KUHP, (e) Pelecehan seksual melalui media elektronik dengan Pasal 27 ayat (1) jo. Pasal 45 ayat 1 Undang-Undang ITE dan seterusnya.[13] Selain melanggar hukum, tindakannya tidak sesuai dengan etika bisnis yang ada di masyarakat. Hal ini dilatarbelakangi oleh konsep utama dalam berkegiatan bisnis yang baik bukan hanya menguntungkan saja, melainkan bisnis baik  adalah bisnis yang menguntungkan juga baik secara moral.[14] Pelaku usaha P2P Lending ilegal berdasarkan aduan yang diterima penulis cenderung menggunakan nada tinggi dan menggunakan kata-kata tidak sopan atau tidak patut yang sangat bertentangan dengan moralitas yang ada di masyarakat Indonesia.

Peminjam pinjaman online seperti pelaku usaha UMKM, nelayan, dan petani yang telah disebutkan di atas tentunya kebanyakan dari mereka minim literasi terhadap keuangan dan digital sehingga sangat mudah terjebak dalam P2P Lending ilegal. [15]  Selain itu, peminjam yang membutuhkan dana secara cepat juga sering tidak membaca syarat dan ketentuan dari penyedia layanan P2P Lending. Hal ini menyebabkan peminjam yang terjebak utang sering tidak dapat melunasi utang tersebut dikarenakan bunga yang sangat tinggi hingga tanggal jatuh tempo yang begitu cepat. Kemudian, berdasarkan pengalaman Penulis sebagai relawan LBH “Pengayoman” UNPAR, sering mendapatkan ada peminjam yang meminjam uang ke penyedia layanan P2P Lending untuk membayar hutang ke penyedia layanan P2P Lending yang berbeda. Hal ini mengakibatkan peminjam menjadi semakin terjebak dalam utang-utang yang ada karena suku bunga yang terlalu tinggi salah satunya.

Berdasarkan hal-hal yang terjadi di atas, maka masyarakat harus mengetahui tindakan yang seharusnya dilakukan sebelum melakukan pinjaman online ataupun sesudah terjerumus dalam pinjaman online. Hal pertama yang harus diperhatikan sebelum melakukan pinjaman online, calon peminjam sebaiknya memperhatikan izin dari penyelenggara teknologi finansial (pinjaman online) dalam hal terdaftar atau tidaknya di OJK. Calon peminjam dianjurkan hanya meminjam kepada pinjaman online yang terdaftar dari OJK saja. Akan tetapi, berdasarkan pengalaman Penulis, terdapat aplikasi pinjaman online yang mencantumkan gambar OJK di dalam aplikasinya, walaupun belum ada kepastian bahwa aplikasi tersebut ilegal atau tidak. Sebaiknya peminjam langsung melihat daftar-daftar aplikasi pinjaman online yang telah terdaftar di OJK secara langsung dan memastikan aplikasi yang akan digunakan terdapat dalam list di OJK. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memeriksa langsung di ‘Perkembangan Financial Technology (Fintech) Lending oleh Deputi Komisioner Pengawas (Industri Keuangan Non-Bank II) IKNB II, Departemen Pengawasan IKNB 2A, Direktorat Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan Fintech’ per periode. Selain itu, penerima pinjaman juga harus memperhatikan syarat dan ketentuan dari perjanjian pinjaman. Mulai dari biaya pinjaman yang akan di tanggung, serta mekanisme transaksi dari awal hingga pembayaran kembali serta ketentuan lainnya.

Selanjutnya dalam hal peminjam yang  telah melakukan pinjaman online dan ternyata terdapat masalah misalnya pinjaman macet, peminjam dapat melakukan klarifikasi dengan pelaku usaha P2P Lending mengenai alasan keterlambatan pembayaran dan memberikan komitmen atau kepastian jangka waktu pembayaran kepada penyelenggara teknologi finansial tersebut. Jangan lakukan praktik meminjam uang ke P2P Lending lain untuk menutupi utang lainnya, jadikan cicilan sebagai prioritas utama setelah menerima penghasilan. Apabila peminjam dihubungi oleh debt collector yang disertai dengan ancaman atau tindak kekerasan, pengguna dapat melaporkan ke pihak yang berwajib dalam hal ini adalah Kepolisian Republik Indonesia, ataupun peminjam dapat melaporkan ke Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI). Hal yang sama dapat dilakukan pengguna jasa teknologi finansial jika terjadi penyalahgunaan data pribadi dengan memperhatikan bahwa teknologi finansial hanya boleh mengakses kamera, mikrofon dan lokasi Anda. 

Maka dari itu, untuk calon peminjam pinjaman online dianjurkan untuk sebaik-baiknya memilih pinjaman online yang telah terdaftar dalam OJK. Selain itu, bagi masyarakat yang kesulitan melunasi utangnya, tidak disarankan untuk melakukan pinjaman online ke platform P2P Lending lainnya. Adapun sebaiknya masyarakat disarankan dapat menyisihkan dan mengutamakan pembayaran cicilan pinjaman online terlebih dahulu setelah menerima penghasilan.

Referensi:

[1] Raden A. E. W et al., Praktik Finansial Teknologi Ilegal Dalam Bentuk Pinjaman Online Ditinjau Dari Etika Bisnis, Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, Volume 1- Nomor 3, 2019, Hal. 387.

[2] Adi Setiadi Saputra, Perlindungan Terhadap Pemberi Pinjaman Selaku Konsumen dan Tanggung Jawab Penyelenggara Peer to Peer Lending dalam Kegiatan Peer to Peer Lending di Indonesia, Jurnal Veritas Et Justitia Volume 5-Nomor 1, June 2019, Hal. 239.

[3] Otoritas Jasa Keuangan, Perkembangan Fintech Lending Juni 2020, https://www.ojk.go.id/id/kanal/iknb/data-dan-statistik/fintech/default.aspx  (diakses pada 30 Agustus 2020).

[4] Eka Budiyanti, Upaya Mengatasi Layanan Pinjaman Online Ilegal, Info Singkat, Volume 11-Nomor 4, Februari 2019, Hal 19.

[5] Adi Setiadi Saputra, Op.Cit., Hal. 239.

[6] Kabrina Rian Ferdiani, Modal Usaha: Pinjaman Online VS Investasi, https://www.modalrakyat.id/blog/modal-usaha-pinjaman-online-vs-investasi (diakses pada 30 Agustus 2020).

[7] Novia Nurul Firdaus, Skripsi: Analisis Determinan Non Performing Loan Pada Bank Umum Konvensional di Indonesia, (Yogyakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta, 2017), Hal. 20.

[8] Asep Syarifuddin Hidayat et al., Consumer Protection On Peer To Peer Lending Financial Technologi In Indonesia, Journal of Scientific & Technology Research, Volume 9 – Issue 1, Januari 2020, Hal 4069.

[9] Otoritas Jasa Keuangan, Op.cit., (diakses pada 30 Agustus 2020).

[10] Rahajeng Kusumo Hastuti, Ini Daftar 105 Fintech Ilegal yang Disikat OJK, Waspadalah!, https://www.cnbcindonesia.com/tech/20200703130417-37-169997/ini-daftar-105-fintech-ilegal-yang-disikat-ojk-waspadalah (diakses pada 30 Agustus 2020).

[11] Soraya Novlka, LBH Jakarta Ungkap 14 Dugaan Pelanggaran Dalam Pinjaman Online, https://www.alinea.id/nasional/-b1UB49fQf (diakses pada 30 Agustus 2020).

[12] Raden A. E. W et al., Op.cit., Hal. 385.

[13] Mochamad Januar Rizki, Pasal-Pasal Pidana yang Bisa Jerat Perusahaan Fintech Ilegal,  https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5c6cacf0c858c/pasal-pasal-pidana-yang-bisa-jerat-perusahaan-fintech-ilegal/, (diakses ada 31 Agustus 2020).

[14] Raden A. E. W et al., Op.cit., Hal. 387.

[15] Suryanto et al., Edukasi Fintech Bagi Pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menegah, Kumawula: Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat, Volume 3-Nomor 1, April 2019, Hal. 19.

Tersedia di:
Spotify
Anchor
Google Podcast